Halaman

26 Jan 2013

Paradoks Sampah

Orang Indonesia itu ramah-ramah dan bersahabat, asal tidak berhadapan dengan tukang sampah. Di radio dan koran saya sering dengar dan baca soal tukang sampah yang lalai dalam tugasnya. Kelalaian yang terkadang amat menyebalkan sehingga mesti diadukan kepada atasannya.

”Tolonglah Pak Dinas Kebersihan! Sudah 2 minggu lebih sampah di komplek perumahan kami tidak diangkat. Baunya itu lho, Pak ! WOW…! Padahal kami selalu taat bayar iuran kebersihan. Ga’ pernah telat. Tolong yaa, Pak!” Begitu kira-kira sering saya dengar pengaduan warga di radio atau saya baca di rubric ‘keluhan warga’ di Harian Kota saya. Itu versi yang tergolong masih sopan. Ada juga yang agak kasar.

“Tolong yaa, Pak! Kami kan sudah bayar. Jadi tolong lakukan kewajiban Bapak!”

“Gimana, sih? Giliran mungut iuran lancar! Giliran ngangkatnya, macet….!” Udah kasar nih.

“Duitnya cepat, kerja lambat. Makan gaji buta. Bla…bla…bla…!”

Yang kasar benar juga ada. Tak enak saja nulisnya. Intinya beragam perasaan kami terhadap tukang sampah yang (kami anggap) lalai itu. Dari yang sabar, kecewa dan jengkel sampai kepada marah dan geram. Tapi alhamdulillah, akhirnya mereka datang juga.

Tapi..

Jika sebelumnya beragam perasaan kami terhadap mereka, setelah datang dan mereka mulai bekerja, nyaris seragam belaka reaksi kami: MENUTUP HIDUNG.

Ada dua sebab kenapa kita menutup hidung. Pertama, karena bau. Kedua karena jijik. Tapi yang saya yakini, karena alasan kedualah kami menutup hidung saat itu. Jika karena aromanya, itu adalah bau yang dengannya kami telah akrab. Mustahil kita tak suka sama bau yang telah akrab dengan kita. Itulah makanya saya yakin bahwa kami menutup hidung karena jijik.

Jijik ini juga ada 2. Pertama jijik kepada sampahnya. Kedua, jijik kepada tukang sampahnya. Jijik kepada sampahnya juga tak mungkin, karena alasan yang sama dengan yang di atas. Sampah itu sudah berhari-hari berdampingan dengan kami. Jadi kesimpulan saya, kami jijik kepada tukang sampahnya.

Mereka tersinggung dan terhina itu pasti. Tapi saya tak hendak membela para tukang sampah itu. Juga tak hendak mencari sebab, kenapa mereka lalai terhadap kewajibannya, (meski saya curigai juga, bisa jadi karena melulu tersinggung dan dihina itulah penyebabnya). Saya jadi ingin melihat ‘kelucuan’ pada diri saya sendiri terlebih dulu. Saya butuh mereka, tapi saya jijik sama mereka. Butuh tapi jijik. Jijik tapi butuh. Menyuruh datang tapi tak suka saat mereka dating. Tolong carikan padanan kata yang lebih halus ketimbang kata MUNAFIK yaa, Friends…!

Nabi Muhammad SAW mestinya meninjau ulang ciri-ciri orang munafik seperti yang telah disabdakannya selama ini. Bukan karena salah. Cuma kurang lengkap. Mestinya ditambahkan lagi. Yakni ciri ke-4:

“Orang yang munafik adalah orang yang butuh tukang sampah, mengundang mereka untuk mengangkat sampah, tapi menutup hidung ketika mereka telah memenuhi undangannya”.

25 Jan 2013

Merasa Keren itu Penting

Mick Jagger dan the Rolling Stone itu keren, aku tak membantahnya. Tapi membuat album rock dan tur keliling dunia di umurnya yg sudah lewat 70 tahun ? Betapa tak tau dirinya gerombolan kakek2 ini, hanya karena mereka MERASA para penggemar merindukan mereka. Rick Allen (Def Leppard) meski satu tangannya di amputasi, ngotot tak mau diganti sebagai drummer karena MERASA mampu bermain dengan satu tangan. Jason Becker (pernah gabung di David Lee Roth Band, menggantikan Edi van Hallen) gitaris yang kemampuannya dianggap melebihi Yngwie, pada umur 19 tahun mulai menderita lumpuh. Dari Cuma kaku jari sampai akhirnya lumpuh total (cuma bisa mengedipkan mata). Dan sampai sekarang dia telah menghasilkan 2 album berkelas tinggi hanya dengan mouse computer yang digerakkan dengan kedipan matanya, karena seluruh anggota tubuhnya yang lain LUMPUH TOTAL, hanya karena MERASA mampu.

“Tuhan boleh melumpuhkan semua anggota tubuhku, tapi tidak pikiranku”, katanya.

Gembira rasanya jika status2ku di Facebook banyak yang menyukai atau mengomentari. Jika komentar atau  yang ngasih jempol itu cewek makin gegap gempita kegembiraanku. Tak jarang malah pikiranku jadi ngawur. Jangan2 dia ini bukan hanya suka statusnya, tapi juga penulisnya, hahaha…!

Akibatnya apa? Aku jadi merasa perlu menjaga kualitas status2ku. Aku tidak ingin mereka merasa kecewa dan merasa bosan pada status2ku berikutnya. Padahal pastinya itu lebih kepada perasaan ‘merasa-ku’ itu saja. Soal mereka kecewa atau bosan sama status2ku itu pasti hanya ada di pikiranku saja. Soal mereka suka sama penulisnya apalagi,

“Iihhh…amit-amit !”, begitulah terbayang di kepalaku tanggapan mereka, lengkap dengan segala ekspresinya, hahaha…!

Tapi intinya, hanya karena merasa-merasa itu, status-statusku jadi kujaga mutunya. Karena merasa hebat, aku jadi tak mau terlihat konyol dan bodoh. Tapi yang lebih penting, aku jadi gembira karenanya. Jadi semua cuma bermodal narsis. Itu saja. Sederhana, tapi berdampak nyata.

Hanya karena merasa mampu, banyak yang mencalonkan diri jadi Presiden. Soal benar-benar akan jadi Presiden itu lain soal. Fakta bahwa ikut bersaing sebagai kandidat saja sudah membuktikan bahwa dia layak jadi kandidatnya.  

Jadi, betapapun kacau tampangmu, ‘merasa keren’ itu perlu. Cermin boleh setiap saat menyodorkan duka, yang penting jangan dipercaya. Jika sodoran duka itu dipercaya, kita akan melulu ‘merasa’ berduka. Merasa berduka? Merasa hina saja bisa membuat seseorang mengakhiri hidupnya. Belum tentu benar-benar terhina sebenarnya. Baru sebatas merasa,  tapi hasil keputusannya nyata. MATI.

Apakah dengan merasa keren, kita jadi keren beneran? Belum tentu. Tapi jika kita sudah merasa keren, berarti kita memang layak untuk beneran keren.

*Quote macam apa ini? ;)
*Selamat Malam….!

19 Jan 2013

Menipu adalah Profesi Prospektif

Jam 9:40 AM, 12 Juli 2012

Nomornya 0823 4802 3262. Namanya FIRMAN PANGGABEAN. Kami berbicara cukup lama. Sekitar delapan menit. Intinya saya berhak atas hadiah ke-3 acara Pengacakan Poin TELKOMSEL berupa sebuah sepeda motor Yamaha Mio. Tanpa perlu setor apa-apa sebab pajak hadiahpun ditanggung penyelenggara. Dalam hal ini TELKOMSEL yang bekerjasama dengan GlobalTV. Disebutkan juga bahwa acara ini melibatkan Menteri Telekomunikasi dan Informatika (tapi tidak disebutkan nama menterinya). Saya hanya ditanya nama, kota tempat tinggal dan sudah berapa lama nomor SIMPATI ini saya gunakan. Untuk konfirmasi saya hanya disuruh menghubungi pengantar hadiah, Drs. INDRA KUSUMA di nomor 0853 3874 2227.

Orang ini amat profesional dan terdidik. Obrolan kami berlangsung lama lebih disebabkan karena kesabarannya dalam memberikan penjelasan, bukan karena ketidak mengertian saya. Dia hanya ingin memastikan bahwa saya tidak salah menerima informasi, sehingga terkadang saya yang diberi kesempatan mengulang penjelasannya dan ia mengkonfirmasi kebenarannya.

"Kosong-Delapan-Lima-Sekian-Sekian-...."

"Ya, Pak Raul benar!"

Orang ini turut berbahagia atas keberuntungan saya. Ia tak ingin saya salah bertindak yang bisa mengakibatkan keberuntungan itu menguap. Untuk itu saya harus menaruh hormat dan berterimakasih kepadanya.

Dia menghargai intelektual saya. Saya tak mungkin bisa ditipu hanya dengan iming-iming puluhan, ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Dia tahu saya pasti sering mengalami percobaan penipuan seperti itu dan pasti buntu sebatas percobaan, bukan penipuannya. Karena itu kepada saya hanya ditawarkan sebuah motor tanpa perlu repot terhadap segala urusan dan iuran.

Dia juga menghargai kesibukan saya. Saya tak mungkin punya waktu untuk sekadar melayani bualan-bualan via sms. Karena itu dia butuh menelpon saya. Saya juga hanya diminta menunggu sebab hadiahnya tak perlu saya jemput karena akan diantar langsung. Demi menghormati saya, kurir pengantar pun tak boleh sembarang orang. Dia mesti orang berpendidikan dan punya titel, setidaknya seperti Drs Indra Kusuma yang direkomendasikannya tersebut.

Jadi terhadap segala perhatian, penghormatan dan penghargaannya tersebut, orang ini pasti layak saya hormati.

Tapi bagaimanapun terhadap urusan, apalagi urusan dengan orang yang sudah sedemikian rupa menghormati kita (meski penipu sekalipun?) tentu harus segera ditanggapi. Atas penghargaannya terhadap intelektual saya, saya tidak boleh sembrono. Saya tidak boleh salah bertindak karena itu juga akan mengecewakannya. Saya googling untuk segera mengetahui siapa 'orang baik' itu. Dan, ketemu....

Hooo....!

Sekali lagi saya mesti menaruh hormat padanya. Dia benar-benar amat profesional. Setidaknya dia sudah bergelut di bisnis tanpa restu itu sejak 2006 (saya googling via HP yang amat terbatas kemampuannya). Dan kenyataan bahwa sampai saat ini dia masih menekuninya mengabarkan bahwa dia berhasil dalam profesinya itu. Ironis, sebab fakta itu sekaligus mengatakan bahwa menipu adalah profesi dengan prospek yang menjanjikan.

17 Jan 2013

Hidup ini Sederhana

Lapar? Yaa, makan!
Haus? Yaa, minum!
Ngantuk? Yaa, tidur!

Sesederhana itu mestinya hidup. Tuhan telah mengatur segalanya amat harmoni dan presisi. Manusialah penyebab terjadinya berbagai ketidakseimbangan itu.

Rumus di atas amat dimengerti oleh alam. Jika kepada api kita tawarkan bensin, ia akan menyambar. Hutan yang digunduli akan mengirimkan banjir, mendatangkan tanah longsor dan menghadiahkan aneka bencana. Aspal yang tebalnya dikurangi akan melobangi dirinya lagi.

Gajah atau harimau yang diburu selalu, bisa mengamuk ke perkampungan di lain waktu. Demikian kuatnya hukum ini hingga alam pun mematuhinya. Monyet bisa disuruh memetik kelapa. Anjing bisa dilatih mencari pencuri. Pohon-pohonan membasmi polusi. Sungai yang bersih mengalirkan air yang jernih.

Jika alam saja mentaatinya, kenapa manusia tidak? Disuruh atasan, yaa kerjakan. Membangkang hanya akan mengundang masalah. Setiap masalah menimbulkan ketidakseimbangan. Jadi mesti disingkirkan. Gampang saja menyingkirkannya. Toh cuma bawahan saja predikatnya.

Bagaimana jika dia seorang atasan? Sama saja. Atasan yang otoriter menekan bawahan. Iklim kerja jadi tidak nyaman. Produktifitas menurun dan stabilitas terganggu. Demi harmonisasi perusahaan tentu saja si atasan yang mesti disingkirkan.

Hidup ini sederhana. Ingin punya ini, yaa beli! Ingin ke sana, yaa pergi saja! Tak punya uang, yaa jangan beli! Tak punya ongkos, yaa jangan pergi!

Sederhana sekali. Tapi lihat saja jika ia dibuat rumit. Tak sanggup beli, yaa dicuri? Tak berani nyuri, tapi tetap ingin beli? Akhirnya korupsi.

Tak punya biaya, tapi tetap ingin ke sana? Memang banyak jalan menuju Roma. Tapi ke sana butuh biaya. Maksa juga, bisa mengacaukan keuangan keluarga.

Hidup ini sederhana. Masalah ada karena solusi tersedia. Sudah berusaha? Berdo'a? Tapi masih mentok juga? Tunggu saja! Karena alam sendiri yang akan mengurainya.

Rekreasi Hati

Istilah I hate Monday itu menggelikan. Entah kenapa Senin begitu dibenci, padahal letaknya begitu dekat dengan akhir pekan yang sebaliknya begitu kita hormati. Padahal biasanya emosi, perasaan, termasuk cinta atau benci selalu bisa menjangkiti lingkungan sekitarnya dan menariknya pada medan perasaan yang sama. Itulah kenapa saat mencintai seseorang kita juga akan menyukai apa yang disukainya dan membenci apa yang dibencinya.

Pesepakbola favorit saya Clarence Seedorf dan klub favorit saya AC Milan. Tapi begitu tahun 2000 Seedorf bergabung ke Inter Milan, saya ikutan jadi Interisti (sebutan bagi pendukung Inter Milan). Padahal Inter Milan adalah musuh bebuyutannya AC Milan. Saya juga suka pada bek Milan, Alesandro Costacurta. Tapi begitu ia tidak dimainkan 'karena sudah tua,' kata komentatornya, saya maki itu si komentator. Sampai di situ? Ga' juga. Saya malah do'akan supaya AC Milan kalah saja, sebab ceroboh tidak memainkan idola saya, Costacurta.

Ketika saya benci seseorang, seluruhnya dari orang itu jadi terlihat norak dan memuakkan. Mulai dari gaya berjalan, bicara sampai bentuk poninya pun, ikut saya benci.

Jadi ada apa dengan Senin?

Senin tidak mungkin bersalah, karena toh terkadang perasaan itu sudah hadir bahkan sesaat setelah kita pulang dari acara akhir pekan. Sampai di rumah saya langsung lemas. Sesal timbul. Bagi kaum galau finansial seperti saya ini, bersenang-senang di akhir pekan adalah keputusan yang tidak bijaksana. Membuang-buang uang di akhir pekan adalah tindakan spekulasi yang butuh nyali tinggi. Membuang-buang waktu di akhir pekan adalah kebijakan yang tidak saja keliru, tapi juga tidak bermutu.

Perlahan-lahan saya mulai melihat tampang atasan saya yang berubah seperti monster. Tersamar, saya juga lihat di kepala Ibu Kost saya sudah mulai tumbuh tanduk. Sementara bayangan Samsung Galaxy Tab yang baru itu mulai pudar, menjauh. Ini akhir pekan yang jauh dari bermutu, salah kaprah dan tidak tepat guna.

HAAAHG?

Hoo ... ternyata akhir pekan itulah yang keliru. Jika cuma sekedar untuk berdamai dengan penat, tidur adalah solusinya. Tapi ketika bangun dan badan masih terasa lemah belaka tentu ada yang keliru. Hati yang tidak tenang dan perasaan yang gelisah selalu.

Hati yang butuh diajak rekreasi. Untuk bersenang-senang dengan hati ternyata amat mudah, murah dan bahkan gratis. Rekreasi yang hemat biaya dan ramah terhadap dompet kita. Karena cukup dengan membayangkan bakal bertemu Dian, si anak PKL itu lagi, saya kembali bersemangat menyambut Senin. Tak butuh dia balas perasaan saya, karena senyumnya saja sudah menggairahkan saya. Tak jadi soal dia masih sekolah, toh dia yang mampu mengusir bayangan monster si atasan saya .

Tapi lain kali manggil saya jangan 'Oom ya, Dian! Panggil Abang aja, kan lebih mesra?

Banjir yang Taat Hukum

Banjir hanya musibah bagi yang berkepentingan terhadapnya. Terhadap yang sedang butuh bepergian misalnya. Atau bagi mereka yang mau pulang ke rumah. Tapi bagi pihak lain bisa saja adalah anugerah dikala mereka sedang susah. Coba saja tanya sama para pemuda yang mendadak jadi relawan, yang memberi petunjuk bagi mereka yang mau lewat. Bahwa sebelah sini ada lobang besar, jadi jalannya lewat sini saja. Seribu, dua ribu yang mereka terima itu adalah berkah banjir buat mereka. Ada berkah di samping musibah. Laknat bagi yang lain, nikmat bagi yang lain lagi.

Bagi yang melihatnya sebagai musibah, dia akan meratap-ratap histeris. Jika perlu, orang lain dimaki-maki. Ooo … ini gara-gara pemerintah suka begini begitu. Tapi bagi yang lainnya, bisa jadi cuma melihatnya sebagai romantika biasa saja. Malah bagi anak-anak, banjir bisa jadi arena main air yang menyenangkan. Bagi sebagian lainnya, bisa jadi banjir adalah musim panen ikan liar yang tiba-tiba saja muncul di sana-sini. Bahkan bisa jadi banjir adalah panggung hiburan yang jarang bisa mereka nikmati. Melihat ada cowok yang mendorong motor sambil di omel-omeli pacarnya karena si cowok terpeleset melulu adalah hiburan langka yang mungkin cuma bisa mereka nikmati di kala banjir. Atau melihat ibu-ibu kaum sosialita yang entah merutuki mobilnya yang terperosok masuk lubang, atau meratapi dandanannya yang mendadak konyol, basah, dan kotor.

“Ujaaaaang, kamu di mana? Jemput, CEPAAAAAT...!” katanya sambil menelpon pembantunya mungkin.

Hooo … semuanya sungguh hiburan gratis dan rekreasi hati yang ramah biaya.

Semua cuma soal sudut pandang. Jika melihatnya sebagai peluang, banjir bisa jadi ladang rejeki musiman. Bahkan bagi para calon pejabat dan politisi, banjir pun bisa jadi properti kampanye yang bernilai tinggi.

Jadi, tak perlu menyalahkan banjir. Dia toh hanya menjalankan aturan yang telah dibuatkan untuknya. Bahwa sebagai air ia mesti mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Bahwa jika wadahnya sudah tak kuat menampung, dia akan meluap. Begitu sederhana hukumnya. Tapi lihatlah, betapa patuhnya dia akan hukum yang mengikatnya itu. Demi mentaatinya, dia akan menghalau apa saja yang menghalang tugasnya itu. Tumpukan sampah, rumah, mobil dan kendaraan lainnya, bahkan jika perlu manusia dan hewan pun akan ikut diseretnya.

Hukum alam adalah hukum yang terkuat, karena Tuhan sendirilah perancang hukumnya. Banjir, sebagai air amat memahaminya. Jika banjir demikian taatnya, kenapa manusia tidak. Sudah tahu bakal banjir, hutan tetap digunduli. Parit-parit, sungai tetap ditumpuki sampah. Jika terhadap hukum Tuhan saja kita bisa demikian membangkangnya,­ apalagi jika cuma terhadap hukum buatan manusia.

Selamat Malam!

13 Jan 2013

Hati yang Ketinggalan Jaman

Di jaman serba cepat ini semua juga dituntut serba cepat. Termasuk hati, mata, mulut, hidung, dan telinga kita. Kekeliruan sering terjadi karena hati sering terlambat melibatkan diri. Ketelepasan ngomong, terjadi karena hati ketinggalan oleh mulut. Gosip, fitnah sering terjadi karena hidung, mata dan telinga keburu mengambil keputusan akan berita kecil yang dicium, dilihat atau di dengarnya.

Hati selalu terlambat karena dia ada di dalam. Mata dan indera lainnya lebih cepat tanggap karena dia ada di luar. Kekeliruan sering terjadi karena meski berada di luar, mereka juga cuma tanggap terhadap hal-hal yang terlihat dari luar. Itulah kenapa imej sekarang terasa lebih penting ketimbang perilaku. Karena imej hanyalah gambaran terlihat yang bisa ditangkap pancera indera kita. Karena berada di luar ia mesti terlihat cantik agar indera tertarik. Itulah kenapa kentut lebih penting disembunyikan ketimbang aurat. Karena orang yang mengumbar aurat lebih menarik minat kita ketimbang mereka yang suka menebar kentutnya. Padahal jika hati kita terlibat, dia pasti menolak kebijaksanaan yang keliru ini. Umbar aurat dilarang agama, sedang pamer kentut? Bahkan di tempat kerja saya tak ada peraturan yang melarangnya.

Sejak dini sebenarnya kita sudah dididik menjadi pribadi yang mulia. Lebih tepatnya sebagai pribadi yang terlihat mulia, meski cuma bohong belaka. Ketika di ujian SD diberi soal apa yang mesti kita lakukan jika bertemu pengemis, kita mesti jawab ‘memberi’. Jangan coba-coba menjawab ‘tak memberi’ apalagi ‘mengusir’nya. Tak peduli entah anak SD seusia kita sudah punya uang atau tidak, tapi saya mesti memberinya. Soal-soal sejenis nyaris selalu ada dalam setiap ujian mulai dari tingkat SD, SMP, SMA bahkan sebagai tes soal-soal jadi PNS. Bertahun-tahun begitu soal-soal begitu selalu ada. Sudah jadi tradisi. Dan kita bangsa Indonesia, paham betul apa itu tradisi. Bagaimana perlakuan kita terhadap tradisi. Menolak sejalan dengan tradisi bisa dicampak dari lingkungan masyarakat. Ibu Siami sekeluarga bahkan sampai diusir dari kampungnya, karena anaknya menolak untuk memberikan contekan pada teman-teman sekelasnya. Terlihat mulia jadi lebih penting, meski lewat jalan tidak jujur. Karena itu kepergok ngupil lebih memalukan ketimbang ketangkap korupsi. Toh, sambil diborgol-pun tetap bisa ber’dadah-dadah di depan kamera TV.

Penyesalan selalu datang belakangan. Karena yang menyesal itu hati. Karenanya hati mesti selalu dilibatkan. Caranya? Yaa, hati mesti didahulukan. Hati yang mesti mengambil sikap. Bukan mata, mulut, hidung dan lainnya.

Imej hanyalah soal berurusan dengan manusia lainnya. Sedangkan perilaku selain dengan manusia, ini adalah soal yang juga menyangkut Tuhan. Menciptakan imej yang baik untuk menutupi kelalukuan minus sama saja dengan menipu Tuhan. Sanggup menipu Tuhan?

Selamat Siang!

6 Jan 2013

Kentut pun Hormat Padanya

”Raul, kamu bisa kan Corel Draw? Tolong dulu buatkan ini!" kata atasan saya.  
 
Saya langsung merasa dilecehkan. Mestinya langsung disuruh saja, tak perlu ditanya dulu. Toh tanpa ditanya pun dia sudah tau kalau saya bisa mengerjakannya.
”Raul, kamu kan bisa Corel Draw. Tolong dulu buatkan ini!” 
Mestinya begitulah susunan kalimatnya jika menyuruh saya. Lebih ramah terasa di hati. Bahkan saya merasa diapresiasi. Tapi karena atasan saya itu keliru menempatkan kata, saya jadi terluka. Merasa disepelekan. Soal remeh sebenarnya. Tapi bagi pribadi kecil seperti saya, besar dampaknya. Mood langsung drop. Bekerja dalam keadaan begitu tak usah berharap akan hasil yang bermutu. Padahal ini cuma soal keliru menempatkan kata ‘kan’ saja. Tapi itulah yang membuat batin saya terluka, merasa dihina.
Hidup ini rumit, jika dibuat rumit. Jika hidup hanya untuk meladeni soal-soal remeh, dunia akan terasa menyempit. Dunia mungkin takkan mengenal Einstein, jika hidupnya melulu memikirkan soal rambutnya yang berantakan. Padahal saya jamin, di jamannya belum ada tukang cukur, apalagi salon tempatnya bisa rebonding rambut.
Untuk jadi orang besar memang butuh melakukan hal-hal kecil. Tapi orang besar hanya melakukan yang besar-besar. Mereka tak perlu melakukan hal-hal remeh. Apalagi jika cuma untuk untuk berpikir soal-soal remeh. Apalagi membesar-besarkan yang kecil. Karena yang kecil mesti hormat sama yang besar. Terhadap orang besar, kentut pun bahkan menaruh hormat. Kentut hanya akan memperdengarkan bunyinya, tapi tidak mengedarkan baunya. Karena bahkan kentutpun tahu cara menghormati tuannya, Si Orang Besar.
Jika meladeni hinaan terhadap Pak Habibie, bisa jadi kita sudah perang sama Malaysia. Badannya memang kecil, tapi Pak Habibie itu orang besar. Tubuhnya memang kecil, tapi otak semua. Baginya hinaan itu malah bisa jadi kegembiraan.
”Karena tiap hari mereka memperhatikan kita, tapi kita tak pernah memperhatikan mereka.” Begitu tanggapannya. Sambil tersenyum pasti.
Gus Dur juga orang besar. Saya yakin, jika beliau masih hidup, menanggapi hinaan yang juga diperolehnya dia paling bilang,

”Gitu aja kok repot!”

Selamat Tahun Baru 2013, bagi yang membaca tulisan ini Selasa kemaren!

Menggeser Sudut Pandang

Dihina atau dipuji itu sama saja. Sama-sama mengandung bahaya. Seorang yang selalu menabung penghinaan tiap hari bisa membuatnya menembaki siapa saja. Kenyang dihina menjadikannya gelap mata. Karena gelap dia tak bisa melihat,akhirnya semua jadi sasarannya. Tapi meski tak bisa melihat, dia bisa menaksir akibatnya. Menghadapi bahaya dalam gelap mesti cepat dan tegas. Ada opsi lain, tapi menembak diri sendiri lah resiko yang dipilihnya. 

“Terlalu banyak yang menghina saya,” keluh seorang musisi yang melulu mondar-mandir masuk tahanan.

Sebagai musisi, dia sebenarnya berprestasi. Karena berprestasi dia banyak beroleh pujian. Mabuk pujian itulah yang menjadikannya lupa diri. Lupa diri dampaknya tak kalah hebat. Gelap mata hanya membuat seorang tak bisa melihat. Tapi betapa banyak orang buta dengan prestasi kelas dunia. Dunia musik sendiri punya Stevie Wonder sebagai prototipenya Tapi lupa diri, menghancurkan segalanya. Lupa membawa kunci saja bisa merepotkan banyak orang. Apalagi jika yang dilupakan adalah diri sendiri. Lupa bahwa diri adalah public figure. Yang bahkan bentuk poninya saja bisa jadi objek berita, dan trending topic. Tapi karena lupa diri karena mabuk dipuji, ruang tahananlah justru yang kerap jadi pentas hidupnya. 

Hinaan dan pujian itu abstrak. Penghargaan dan pelecehan tak jelas rumusnya. Ada yang diberi gelar pahlawan karena usahanya menampung banyak tenaga kerja. Meski perusahaan itu pula yang menenggelamkan tiga kecamatan di Pulau Jawa. Ada yang besoknya jadi pahlawan karena lansung mengundurkan diri begitu ketangkap nonton video porno saat sidang paripurna. Tapi ada juga yang berabad-abad menunggunya sampai sekarang, hanya karena dia meninggal saat masih dalam keadaan jomblo.

Ada ekonom yang dicaci maki sebagai pencuri uang negara. Ehh di luar negeri malah dipercaya sebagai manager Bank Dunia. Ada ilmuwan pelopor pesawat udara di suatu negara, tapi di luar negeri dihina sebagai pengkhianat bangsa. 

Karena rumus dan batasnya yang tidak jelas itu dia perlu diperjelas. Melihat hinaan dan pujian hanya dari sudut pandang sendiri itu rawan kekeliruan. Menggeser sudut pandang mungkin bisa membuatnya lebih jelas dan tegas lagi. Ooo … ternyata dari sebelah sini terlihat ternyata ada rasa iri yang membonceng dalam hinaan itu. Dari sebelah sana rupanya itu bukan pujian, tapi peringatan akan kelengahan.

“Itu karena setiap hari mereka memperhatikan kita, sementara kita tak pernah memperhatikan mereka,” kata Pak Habibie menanggapi hinaan yang diterimanya.

Saya tak mendengar langsung komentarnya tersebut. Kurang lebih begitulah kata berita. Tapi dari komentarnya tersebut, saya bisa membayangkan wajah beliau saat itu. Kalaupun tidak sambil tertawa, minimal dia pasti tersenyum. Jika dikelola dan dilihat dari sudut yang pas, hinaan itu malah bisa mengembirakan. 

Selamat Malam!

Buku dan Garut (yang) Dodol

Alam Indonesia begitu ramah pada tuannya. Batu saja bisa jadi tanaman. Tak heran kalau Indonesia disebut negara kaya yang memiliki hampir segalanya. Anehnya, meski punya segala, Indonesia malah dikenal sebagai negara yang konsumtif. Memiliki, tapi melulu membeli. Punya tapi masih beli itu bodoh. 

“Jangan melihat buku dari sampulnya,” kata nasehat. 

Tapi bagi orang bodoh, nasehat itu percuma. Selalu saja ada salah pilih. Karena berpasangan dengan artis, maka jadilah dia yang dipilih. Celakanya, artis ini juga keliru dalam memilih pasangan. Sadar telah keliru tak lama artis ini pun memilih mengundurkan diri. Eee … sang pasangan pun tak kalah. Jangankan berpasangan dengan artis, dengan istrinya yang muda lagi cantik pun dia cuma tahan empat hari saja. Cerai.

“Spek-nya tak sesuai, jadi tak apa-apa donk, dikembalikan?" Kira-kira begitu kilahnya.

Benar-benar dodol ya, Garut ? 

Bahkan bagi kebodohan, aneka pilihanpun tak meningkatkan peluang, justru makin membingungkan. Sudah bodoh, bingung pula. Benar-benar ruwet.

Nasehat soal buku itu jadi percuma. karena kita cuma suka belanja, tapi soal membeli buku kita tak suka. Karena tak akrab dengan dengan buku, kebodohanlah kemudian yang jadi pasangannya. Berpasangan dengan kebodohan bukanlah status yang membanggakan.

Sepakbola dan Haji Romli

Hinaan itu menguji kesabaran. Tak banyak manusia yang mampu lulus dari tiga soal itu sekaligus: dihina, diuji dan bersabar. Sudah begitu, ketiganya kompak pula mengeroyok sekaligus. 

Pertama soal hinaan. Hinaan itu unik. Makin diabaikan, dia makin membesar. Pertama-tama mungkin cuma soal sepakbola. Terus berkembang jadi adu gengsi antar negara. Adu gengsi belum cukup, meningkat jadi soal kehormatan dan harga diri bangsa. Masih kurang, seluruh dunia musti tahu, upload di Youtube. Terasa masih kurang, bahkan binatang seperti anjing pun kalau perlu dilibatkan.

Itu baru soal hinaan. Ada lagi ujian. Untuk lulus dari ujian itu sungguh soal tak mudah Sebelum lulus mesti diuji dulu. Sebelum diuji, mesti layak uji dulu. Padahal untuk jadi manusia layak uji saja itu juga tak sepele. Mata saya sering berkunang-kunang melihat seribu perak berpindah tangan ke tukang parkir. Meski sudah dihibur, batin saya perih pada pengamen di warung-warung makan tenda kaki lima di pinggir jalan. Bukan soal pengamennya, tapi soal seribuan yang keluar dari dompet saya. Jadi, jika ada orang yang layak uji dan lulus pula, maka saya amat menaruh hormat padanya.

Kesabaran? Ini yang terberat. Sejatinya kesabaran itu tak terbatas. Ia mungkin menipis, tapi tak bisa habis. Di titik inilah biasanya hukum alam bekerja. Si penghina mungkin akan frustasi, capek, dan berhenti sendiri. Teman saya sampai sembilan kali (katanya) mengikuti ujian untuk proses pembuatan SIM, tak lulus-lulus. 

“Entah karena bosan atau karena kasihan, polisi itu akhirnya ‘meluluskan’ juga,” katanya.

Si Fandy di Film Kiamat Sudah Dekat akhirnya diterima jadi mantu oleh Pak Haji Romli. Jika saya adalah si Haji Romli, sedari awal itu anak sudah saya tolak. Tapi demi mengetahui kualitasnya, beliau malah memilih untuk mengujinya. Dan celakanya anak itu lulus, pas di titik kritis antara pasrah atau kalah. Rela atau pasrah, anak itu jadi menantunya. Hukum alam bekerja dengan sendirinya. Kita sendiri tahu hukum yang terkuat adalah hukum alam. Yang kuat akan bertahan. Dan orang yang kuat adalah yang lulus dari ujian hinaan dan kesabaran. 

Go Indonesia! Hancurkan Malaysia!

Neraka Sudah Dekat

Pelaku Bom     : Lho! Lho! Kenapa saya dibawa ke sini, Pak? Saya kan udah dijanjikan sorga?   

Malaikat          : Siapa yang bilang kau akan masuk sorga?    

Pelaku Bom     : Tuhan yang janjikan sorga buat saya, Pak! Begitu kata senior-senior saya.   

Malaikat          : Kau percaya?     

 

Pelaku Bom     : Bapak ini gimana sih? Yaa saya percaya, donk! Saya kan orang beriman, Pak! Masa’ sama Tuhan ga’ percaya?    

Malaikat          : Maksud saya, kau percaya sama yg diomongin senior-senior kau itu?    

Pelaku Bom     : Hmm…entahlah, Pak! Bingung saya!    

Malaikat          : Pemilu kemaren kau nyoblos tak?    

Pelaku Bom     : Apa hubungannya sama saya nyoblos atau ga, Pak?    

Malaikat          : Banyak tanya, Kau ya? Jawab aja! Kau nyoblos atau ga?    

Pelaku Bom     : Ga nyoblos, Pak    

Malaikat          : Kenapa kau ga nyoblos?   

 

Pelaku Bom  : Saya ga percaya sama janji-janji mereka, Pak. Setelah jadi pemimpin mereka semua ingkar janji. Kata-kata mereka bohong semua. Ga bisa dipercaya.   

 

Malaikat          : Nah! Nah! Sama kata-kata pemimpinmu aja kau tak percaya. Kenapa kau lebih milih percaya sama kata-kata teroris? Senior-senior kau itu?    

Pelaku Bom     : Ttapi…. 

Malaikat          : MASUUUK!

*tamat

xXx

Malaikat                      : Kok Pe-De sekali kau mau masuk sorga? 

Pelaku Bom Solo        : Saya mati syahid, Pak ! Bom Solo itu saya pelakunya.

Malaikat                      : Ooo...gitu ya! Berapa orang yang mati? 

Pelaku Bom Solo        : Setahu saya cuma saya sendiri, Pak. Tak sempat nonton berita saya. 

Malaikat                      : Berarti kau itu mati konyol, bukan mati syahid, BODOH!

xXx

Pelaku Bom Solo        : Senior-senior saya di mana, Pak? 

Malaikat                      : Tuh, di neraka paling bawah. 

Pelaku Bom Solo        : Kalau saya nanti di mana, Pak? 

Malaikat                      : Yaa, sama ! Di situ juga. 

Pelaku Bom Solo        : Waah, ga adil donk, Pak! Mereka kan korbannya banyak. Sedang saya yang mati cuma satu orang. Itupun saya sendiri. 

Malaikat                      : Nah! Nah! Karena itu. Karena kau lebih bego. Udah bego mati konyol pula! 

xXx

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...