Orang Indonesia
itu ramah-ramah dan bersahabat, asal tidak berhadapan dengan tukang sampah. Di
radio dan koran saya sering dengar dan baca soal tukang sampah yang lalai dalam
tugasnya. Kelalaian yang terkadang amat menyebalkan sehingga mesti diadukan kepada
atasannya.
”Tolonglah Pak Dinas Kebersihan! Sudah 2 minggu lebih sampah di komplek
perumahan kami tidak diangkat. Baunya itu lho, Pak ! WOW…! Padahal kami selalu
taat bayar iuran kebersihan. Ga’ pernah telat. Tolong yaa, Pak!” Begitu kira-kira
sering saya dengar pengaduan warga di radio atau saya baca di rubric ‘keluhan
warga’ di Harian Kota saya. Itu versi yang tergolong masih sopan. Ada juga yang agak kasar.
“Tolong yaa, Pak! Kami kan sudah bayar. Jadi tolong lakukan
kewajiban Bapak!”
“Gimana, sih? Giliran mungut iuran lancar! Giliran
ngangkatnya, macet….!” Udah kasar nih.
“Duitnya cepat, kerja lambat. Makan gaji buta.
Bla…bla…bla…!”
Yang kasar benar juga ada. Tak enak saja nulisnya. Intinya beragam perasaan kami
terhadap tukang sampah yang (kami anggap) lalai itu. Dari yang sabar, kecewa
dan jengkel sampai kepada marah dan geram. Tapi alhamdulillah, akhirnya mereka
datang juga.
Tapi..
Jika sebelumnya beragam perasaan kami terhadap mereka, setelah datang dan
mereka mulai bekerja, nyaris seragam belaka reaksi kami: MENUTUP HIDUNG.
Ada
dua sebab kenapa kita menutup hidung. Pertama, karena bau. Kedua karena jijik.
Tapi yang saya yakini, karena alasan kedualah kami menutup hidung saat itu. Jika
karena aromanya, itu adalah bau yang dengannya kami telah akrab. Mustahil kita tak suka sama bau yang telah akrab dengan kita. Itulah makanya saya
yakin bahwa kami menutup hidung karena jijik.
Jijik ini juga ada 2. Pertama jijik kepada sampahnya. Kedua, jijik kepada
tukang sampahnya. Jijik kepada sampahnya juga tak mungkin, karena alasan yang
sama dengan yang di atas. Sampah itu sudah berhari-hari berdampingan dengan
kami. Jadi kesimpulan saya, kami jijik kepada tukang sampahnya.
Mereka tersinggung dan terhina itu pasti. Tapi saya tak hendak membela para
tukang sampah itu. Juga tak hendak mencari sebab, kenapa mereka lalai terhadap
kewajibannya, (meski saya curigai juga, bisa jadi karena melulu tersinggung dan
dihina itulah penyebabnya). Saya jadi ingin melihat ‘kelucuan’ pada diri saya
sendiri terlebih dulu. Saya butuh mereka, tapi saya jijik sama mereka. Butuh
tapi jijik. Jijik tapi butuh. Menyuruh datang tapi tak suka saat mereka dating.
Tolong carikan padanan kata yang lebih halus ketimbang kata MUNAFIK yaa,
Friends…!
Nabi Muhammad SAW mestinya meninjau ulang ciri-ciri orang
munafik seperti yang telah disabdakannya selama ini. Bukan karena salah. Cuma
kurang lengkap. Mestinya ditambahkan lagi. Yakni ciri ke-4:
“Orang yang munafik adalah orang yang butuh tukang sampah,
mengundang mereka untuk mengangkat sampah, tapi menutup hidung ketika mereka
telah memenuhi undangannya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar