Pertama soal hinaan. Hinaan
itu unik. Makin diabaikan, dia makin membesar. Pertama-tama mungkin cuma
soal sepakbola. Terus berkembang jadi adu gengsi antar negara. Adu
gengsi belum cukup, meningkat jadi soal kehormatan dan harga diri bangsa.
Masih kurang, seluruh dunia musti tahu, upload di Youtube. Terasa masih
kurang, bahkan binatang seperti anjing pun kalau perlu dilibatkan.
Itu baru soal hinaan. Ada lagi ujian. Untuk lulus dari ujian itu
sungguh soal tak mudah Sebelum lulus mesti diuji dulu. Sebelum diuji,
mesti layak uji dulu. Padahal untuk jadi manusia layak uji saja itu juga
tak sepele. Mata saya sering berkunang-kunang melihat seribu perak
berpindah tangan ke tukang parkir. Meski sudah dihibur, batin saya perih
pada pengamen di warung-warung makan tenda kaki lima di pinggir jalan. Bukan
soal pengamennya, tapi soal seribuan yang keluar dari dompet saya. Jadi,
jika ada orang yang layak uji dan lulus pula, maka saya amat menaruh
hormat padanya.
Kesabaran? Ini yang terberat. Sejatinya
kesabaran itu tak terbatas. Ia mungkin menipis, tapi tak bisa habis. Di
titik inilah biasanya hukum alam bekerja. Si penghina mungkin akan
frustasi, capek, dan berhenti sendiri. Teman saya sampai sembilan kali
(katanya) mengikuti ujian untuk proses pembuatan SIM, tak lulus-lulus.
“Entah karena bosan atau karena kasihan, polisi itu akhirnya ‘meluluskan’ juga,” katanya.
Si Fandy di Film Kiamat Sudah Dekat akhirnya diterima jadi mantu oleh
Pak Haji Romli. Jika saya adalah si Haji Romli, sedari awal itu anak
sudah saya tolak. Tapi demi mengetahui kualitasnya, beliau malah
memilih untuk mengujinya. Dan celakanya anak itu lulus, pas di titik
kritis antara pasrah atau kalah. Rela atau pasrah, anak itu jadi
menantunya. Hukum alam bekerja dengan sendirinya. Kita sendiri tahu
hukum yang terkuat adalah hukum alam. Yang kuat akan bertahan. Dan orang
yang kuat adalah yang lulus dari ujian hinaan dan kesabaran.
Go Indonesia! Hancurkan Malaysia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar