Halaman

26 Jun 2013

Mobil-mobil Tetangga Saya

Hidup ini cuma soal sudut pandang. Baiknya, sudut pandang itu bisa digeser, sesuka hati kita pula. Boleh saja marah-marah terhadap tetangga yang mobilnya diparkir sedemikian rupa hingga sedikit menganggu bagi calon-calon tamumu yang juga punya mobil dan butuh diparkir. Apalagi jika itu adalah di depan tempat usahamu. Pasti kamu butuh ruang buat para tamu dan pelangganmu, bukan?

Hal begitulah yang juga menimpa saya. Saya bertetangga dengan bengkel mobil yang sama sekali hampir tak punya ruang untuk meladeni semua mobil-mobil yang diservisnya itu. Celakanya, bengkel ini pasiennya banyak sekali. Akibatnya, bukan saja halaman saya, tapi juga milik tetangga-tetangga yang lain ikut terjajah.

Sebagai sesama pengusaha tentu saja saya ikut terganggu. Saya punya banyak alasan yang sah untuk keberatan terhadap tetangga saya itu. Tapi dengan menggeser sudut pandang, saya bisa bersikap beda.

Ini bukan persoalan yang perlu dibesar-besarkan. Ini romantika hidup bertetangga saja. Hidup bukan cuma soal saling menolong, tapi juga saling merepotkan. Dengan restu untuk memarkirkan mobil dia tentu bisa jadi tetangga yang baik. Setidaknya jika ditinggal, dia akan ikut menjaganya tempat usaha saya, 

Selain itu, para pelanggannya pun potensial jadi pelanggan saya. Dia pasti akan selalu promo usaha saya pada para pelanggannya. Bukan promosi asal-asalan, karena dampaknya bisa besar sekali. Kamu tahu, kan? Para pelanggannya adalah para pemilik mobil.

Selainnya lagi, jika butuh, saya juga bisa pinjam berbagai peralatan bengkelnya tanpa repot akan dicurigai sebagai peminjam yang tak bertanggungjawab. Selebihnya tentu soal romantisme saya dengan Tuhan. Janji pahala dari Tuhan jika berbaik-baik dengan tetangga, tentu tidak sekadar janji kosong, bukan?

*Selamat Siang…!

Pembangkang Sampah

“Mengeluh itu dekat dengan kekufuran.”~ Siraul Nan Ebat

Nyatanya, bukan manusia saja yang bosan terhadap curhat dengan tema mengeluh. Bahkan Tuhan saja muak terhadap manusia yang mengeluh melulu.

Mengeluh berarti tidak bersyukur. Tidak bersyukur berarti kufur nikmat.

“Yang kufur nikmat itu adalah termasuk orang-orang yang merugi.” Begitulah kira-kira kutipan bebas dari Al-Qur’an.

Kemudahan hidup adalah rejeki. Jadi jika ingin kemudahan itu, yaaa…mestinya kita selalu bersyukur. Kan Tuhan sendiri yang sudah menetapkan rumusnya. Bahwa orang-orang yang ditambah rezekinya adalah orang-orang yang selalu bersyukur.

“Tiap hari saya dimarahi atasan saya. Marahnya pun soal itu-itu melulu. Bagaimana targetmu hari ini?” Begitulah kira-kira ‘curhat’ seorang teman yang (baru) berprofesi sebagai sales terhadap calon nasabahnya.

“Bosan saya, tiap hari ditanya begitu selalu. Saya jadi malas ngapa-ngapain. Mau berhasil atau tidak, selalu ditanyain begitu,” lanjutnya.

“Yaah, kalau kau bekerja dengan hati kesal begitu, bagaimana mungkin bisa berhasil”, kata calon nasabah yang membuatnya langsung JLEB.

Persoalan yang dihadapi si teman ini mungkin (menurutnya) sudah keterlaluan. Saking keterlaluannya, dia butuh curhat kepada semua orang, termasuk kepada calon nasabahnya sendiri. Curhatnya pun soal kerjaan, dengan tema keluhan pula, hahahaha…!

“Sebenarnya sejak awal saya sudah tak mau kerja beginian. Cuma karena tak enak sama orang yang menolong saya saja. Gara-gara nama dia maka saya diterima kerja di sini,” curhatnya sama saya.

“Ceritanya gimana?” tanya saya pura-pura tak tau. Kalau bagian ini demi kepentingan tulisan ini saja. Karena saya tahu persis gimana kronologisnya…;)

“Karena saya menganggur, dan dia mau menolong saya makanya ketika ada kenalannya yang butuh karyawan, maka saya direkomendasikan. Saya orang baik, dan dia orang yang saya hormati. Jadi demi menghormatinya, saya terima tawaran itu. Maka jadilah, saya diterima bekerja,” jelasnya.

“Kalau begitu, jangan lihat persoalan marahnya. Ingat saja soal tanggungjawab menjaga nama baikorang itu! Beres," nasihat saya sok bijak.

Tak ada yang aneh soal dimarah atasan. Atasan yaa, marahnya pada bawahan. Marahnya atasan itu sehat lagi menyehatkan, lho ! Atasan marah demi melepaskan tekanan dari atasannya lagi. Bagi bawahan, dimarah itu juga untuk melepaskan ketegangan dan kegelisahan hati. Karena sebelum dimarah, tapi kita sudah paham akan dimarah normalnya, kita tegang dan gelisah. Kita baru lega biasanya justru setelah kita dimarah. Jadi apanya yang keliru soal dimarah itu?

???

“Mengeluh itu menghambat karir,” kata Prie GS.

Karena saya karyawan baru dan sebagai bawahan pula, saya melulu yang disuruh Boss mengangkat sampah dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di luar. Sudah berat, lumayan jauh pula.

Apa boleh buat, terpaksa saya taati. Pertimbangan saya banyak. Pertama tentu soal sampahnya. Yang pasti, dia mesti dibuang segera. Berikutnya soal keberatan, kenapa saya melulu yang disuruh, padahal masih banyak teman-teman yang lain. Saya punya alasan yang sah untuk itu. Ini soal keadilan. Diberlakukan dengan tidak adil membuat saya jadi tidak nyaman dalam bekerja, itu alasan berikutnya.

Tapi saya juga mengerti konsekwensi jika saya menolak melakukannya. Yang pertama tentu saja, sampah itu masih di situ saja letaknya. Tapi berikutnya, saya juga akan dilabeli sebagai pembangkang. Di-cap sebagai pembangkang pasti tidak baik demi karir saya.  Apalagi kata ‘Pembangkang’ itu juga dilengkapi dengan kata ‘Sampah’nya. Adalah prestasi memalukan di-cap sebagai pembangkang dan cuma oleh soal sampah pula, hahaha…;)

9 Jun 2013

Kentut itu Ibadah

Belakangan di tempat kerja saya ada jenis kegembiraan baru: perang kentut. Tak jelas sejarah awalnya, tapi saya sudah lihat sendiri hasil akhirnya: kegembiraan bersama. Tiba-tiba saja ini jadi permainan baru yang mengasyikkan. Benar-benar sebagai permainan demi hiburan semata, tapi kentutnya betulan dan kegembiraannya nyata.
 
Jika ibadah didefenisikan sebagai segala amal perbuatan yang baik, maka kentut bisa pula dimasukkan dalam kategori ibadah, asal manajemennya benar. Kentut itu mestinya baik, sehat lagi menyehatkan. Manusia akan mati jika tak bisa kentut karena kondisi peritonitis, yaitu peradangan (iritasi) jaringan tipis yang melapisi dinding bagian dalam perut (peritoneum). Bahkan dalam medis, operasi sebagai tindakan penyelamatan pilihan terakhir membutuhkan kentut sebagai petunjuk sehat dan tidaknya pasien operasi.

Benar bahwa kentut butuh tumbal sebagai korban. Tapi jihad sebagai satu ibadah tertinggi dengan iming-iming surga langsung tanpa pemeriksaan yang ribet juga butuh korban dan pengorbanan. Lagipula kentut tak pernah dinyatakan sebagai perbuatan dosa oleh agama, atau tindakan criminal yang melanggar undang-undang suatu Negara.

Ibadah adalah tugas yang yang bersifat global dan universal. Tidak saja bagi manusia, bahkan jin juga mendapatkan tugas yang sama. Karena itu ibadah mestinya murah dan mudah, tidak merepotkan baik bagi si Kaya atau si Miskin, si Pincang, si Buta dan bagi manusia lainnya. Itulah, kenapa senyum juga digolongkan sebagai satu sedekah paling sederhana. Senyum itu ibadah.

Begitu juga dengan kentut. Sebagai ibadah, kentut juga mudah dan murah belaka. Cuma butuh kentut sebagai amunisi, seorang teman sebagai korban dan beberapa orang sebagai saksi sejarahnya. Sebagai amunisi, kentut cuma butuh bunyi dan bau. Korbannya pun tak perlu sampai mati. Ia cuma butuh kentut yang mengena telak di depan hidung, sehingga membuat pemirsa tertawa dan bergembira. Makin telak tembakannya, makin gempita kegembiraanya. Apalagi jika baunya begitu menyengat pula. Makin banyak yang tertawa makin tinggi pahala ibadahnya.

Mengorbankan diri dalam perang kentut itu juga bernilai ibadah. Apalagi jika mampu pula membalas dengan kentut yang cetar membahana. Apalagi jika baunya mampu membuat sang lawan ‘mati suri’ pula, hahaha…! Inilah tindakan balas dendam yang bernilai ibadah. Satu praktek ibadah lawan ibadah. Betapa hidup begitu indah dan mudahnya.

*Nikmat apalagi yang tau kau syukuri, Raul?

Si Nick, Joe, Cendy, Lubis dan Sitorres adalah beberapa tokoh perang kentut di tempat kerja saya. Sungguh suatu perang yang unik: MENGGEMBIRAKAN. Bahkan supervisor saja merasa perlu merestui perang kentut ini, karena dia juga turut bergembira karenanya.

Tapi fungsi kentut sebagai ibadah akan gugur jika manajemennya keliru. Kentut di depan hidung manejer misalnya. Saya ragu menganggapnya sebagai ibadah karena belum teruji hasilnya. Mestinya sih, makin meninggi kesulitannya, makin tinggi pula nilai ibadahnya. Perang melawan kaum kafir tidak saja butuh pengorbanan harta, darah, nyawa atau sanak-saudara keluarga yang ditinggalkan, tapi yang terpenting mestinya punya nyali lebih. Saya tidak sedang berkata bahwa mengentuti hidung manejer setara dengan jihad fisabilillah. Tapi saya yakin jika ada yang tertawa saat itu, berlipatlah pahala ibadah relawan tersebut. Apalagi jika tertawanya berjamaah pula. Sayangnya belum ada yang berani melakukan tindakan spekulasi yang butuh nyali tinggi ini. Jujur saja, iman saya belum membuat saya berani melaksanakan prakteknya. Tapi jujur juga, saya akan senang sekali jika ada yang bersedia melakukannya. Demi kegembiraan saya lah, setidaknya…;)

4 Jun 2013

Wanita, Pembalut dan Kentut


Tugas sebagai khalifah di muka bumi yang diemban Adam jelas tidak remeh. Konon, malaikat saja sempat meragukan kapabilitas Adam sampai2 Tuhan pun turun tangan ‘memaksa’ Malaikat ( dan juga Iblis) untuk sujud kepada Adam. Jadi jika Iblis sampai menolak ikut sujud, bisa dimengerti juga sebenarnya alasan keberatannya. Karena tugasnya yang tidak remeh itulah Allah menciptakan Hawa untuk menemaninya. Bayangan saya, kata ‘teman’ pada saat itu amat tinggi nilainya. Sebagai teman, Hawa itu partnernya dalam mengurus bumi. Jadi bukan sekadar teman dalam senda gurau atau sejenisnya. Di era Nabi Adam lah wanita benar-benar berada dalam posisi terhormat, sebagai teman dalam pengertian sebenarnya: partner. Laki-laki memimpin, wanita sebagai penasihatnya. Laki-laki membuat kebijakan, wanita mengawal demi tetap dalam jalurnya.Tugasnya yang hakiki sebagai partner benar-benar dipatenkan dalam Islam. Wanita tidak boleh mengimami laki-laki.

Sedemikian terhormatnya kehidupan wanita, sayangnya belakangan ini data2 yang terpapar malah mengatakan yang sebaliknya. Kehormatan itu rontok menukik menuju titik terendah dan makin terendah. Di satu kota, 99,6% wanita belum menikah sudah tidak perawan lagi. 56% pelajar SMP di kota sebelah mengakui hal yang sama. 87% mahasiswi di kota yang satunya lagi mengamini hasil survey lembaga yang ini.

Banyak yang melepas kehormatannya secara cuma-cuma, meski banyak pula demi biaya untuk mengapdet pembalutnya. Ini mengharukan. Bagaimana mungkin menurut mereka pembalut lebih penting ketimbang kehormatan? Yang tak kalah horror, banyak pula wanita yang memperlakukan diri mereka serupa pembalut itu sendiri. Dibeli hanya untuk dipakai sekali untuk kemudian dicampakkan.

???

Padahal sekarang kehormatan itu tidak cuma soal harga diri. Ada kentut yang tak boleh dipamerkan. Ada jerawat yang mesti disembunyikan. Menyembunyikan kentut tapi memamerkan aib tentu saja keliru.Menutupi jerawat tapi mengumbar aurat tentu juga keliru.Anggaran make-up makin besar, bahan pakaian makin kecil. Itulah maka ketika bedak makin tebal tapi pakaian makin tipis. Baju semakin rendah, tapi rok semakin tinggi. Ini soal tak remeh. Karena make up semahal itu tak akrab sama cuaca. Bedak setebal itu tak cuma alergi sama hujan, tapi juga bakalan rontok di hadapan panas. Semakin mahal bedaknya, semakin banyak tabu-nya.

Lain lagi soal pakaian. Ia sungguh tak ramah sama kenyamanan. Berdiri lebih tinggi masalah, tapi duduk lebih rendah juga bahaya. Mau begini melorot di sini. Mau begitu merosot di situ. Hahaah…PD amat. Payah Diri, Payah Duduk. Keliru melulu.

Padahal wanita bagi Negara serupa ibarat sholat bagi agama, sebagai tiangnya. Sulit untuk mungkir bahwa Wiro Sableng bisa jadi legenda tanpa Bidadari Angin Timur atau Ratu Duyung ikut terlibat dalam sejarahnya. Karir gemilang Gianluca Pagliuca sebagai kipper di Timnas Italia mentok gara-gara sembrono megaku bahwa dia telah tidur dengan setidaknya 1500 wanita. Ga’ usah bilang, WAW…! Jangan lupakan Bill Clinton dan Monica Lewinsky, Antazhari Azhar dan Rani Juliani atau karir AA Gym yang merosot drastic, juga karena wanita. Bahkan SBY jadi Presiden konon juga karena punya banyak pemilih wanita. Begitu banyak catatan sejarah dengan wanita sebagai tokoh utamanya. Jika aneka survei di atas benar adanya, terbayang sudah serupa apa Indonesia berikutnya. Tapi paling tidak, semoga saja semua yang baca ini bukanlah satu diantara mereka, aamiiin...!

*Tulisan saat galau, nih…! Selamat Malam!

Saya Keren Maka Saya Galau (Tamat)

Kecewa mestinya saya karena Chua, bassist Kotak yang Masya Allah cantiknya itu tak kunjung mengapruv permintaan pertemanan saya di Facebook. Apalagi si Sheila, keponakan si Barong dalam sinetron Para Pencari Tuhan juga tak menerimanya. Begitu pula ketika saya gagal menemukan di mana Ayu Pratiwi yang asli. Tapi saat Ribas, penyanyi sekaligus pencipta lagu idola saya mengapruvnya, begitu gempita perasaan saya. Apalagi dia juga selalu membalas setiap email yang saya kirim. Malah ketika dia memuji saya sebagai TEMAN yang paling baik, karena kelakuan bodoh saya, tak terkira perasaan saya saat itu. Saya memang pernah sedemikian konyol bilang padanya, kalau sudah 2 tahun lebih saya menggunakan NSP lagunya dan selalu memaksa teman yang lain untuk menggunakannya pula. Saya bilang padanya saya berhasil memaksa 12 orang teman untuk menggunakannya juga. Dia selalu membalas setiap email yang saya kirim, meski isinya amat menggalaukan buatnya.

“Dear Ribs, penggemarmu di Batam cuma 3 orang. Saya, seorang teman yang telinganya sudah saya jajah dengan lagu-lagumu dan keponakannya yang masih kelas 6 SD. Ayoo, donk ! Promo ke Batam!” email-ku.

Meski jawabnya cuma ‘Insya Allah’, itu amat menggembirakan saya.

Jadi ketimbang menangisi Chua atau Sheila, saya lebih memilih gembira karena Ribas. Apalagi kemudian banyak juga seleb2 idola lainnya yang bersedia mengapruv proposal permintaan pertemanan dari saya.

Tak mudah lho, mengajukan permintaan pertemanan dengan selebritis. Mereka tak punya pertalian apapun dengan kita di dunia nyata. Ada kuota jumlah teman yang mesti ditaati agar akun kita tidak dianggap spam dan diblok oleh Facebook. Jadi sebagai selebritis dengan banyak penggemar pasti butuh seleksi ketat untuk lulus dan lolos jadi temannya. Pasti butuh suatu yang special hingga mereka bersedia mengapruvnya. Jadi saya merasa amat keren saat itu terjadi.

Puncaknya, ketika ada seorang (cewek donk, pastinya, hahaha…) yang  sepertinya menyukai apdetan-apdetan status saya. Dia memasukkan saya ke dalam Grup yang juga diikutinya. Bukan grup yang sembarangan tentunya, karena dia mesti cocok dengan gaya apdetan status-status saya. Artinya: dia paham siapa saya. Dia (pasti) menikmati apdetan-apdetan status saya.

Saat di apruv para selebritis saya CUMA MERASA keren. Merasa keren kan belum tentu beneran keren, bukan? Oke, apdetan status-status saya berkelas. RATUSAN malah yang di copas mentah-mentah oleh seorang teman saya (via email, jika pengen tau orangnya, hahaha…;). Juga saya temukan diposting di beberapa blog. Ada yang punya teman, tapi ada juga blog orang yang tak saya kenal (tapi eloknya dia bagi link akun saya).

Saking narsis karena merasa keren, saya sempat posting bahwa saya adalah kandidat serius RI 1 periode 2014-2019, hahaha….! Tapi keren kan butuh bukti, bukan?

Semua yang di atas belum membuktikan apapun betapa kerennya saya. Saya memang merasa keren, karena berteman dengan banyak selebritis (meski cuma di Facebook, hahaha…!). Saya memang merasa keren, karena banyak status Facebook saya di-copas. Tapi semua itu tak menjelaskan apapun, sepanjang yang mengakuinya cuma teman-teman saya. Juara sejati adalah juara yang mendapat pengakuan dari pesaingnya. Kamu tau kan, apa artinya pesaing itu. Dia adalah orang yang mesti dikalahkan. Makin berkualitas pesaingmu, makin banyak cara yang mesti kau gunakan untuk menaklukkannya. Jika perlu segala cara.

Jadi paham kan, kenapa saya merasa gembira saat di-remove oleh (pacar) Dian? Dia tahu saya keren. Dia mengakui bahwa saya keren. Me-remove saya berarti dia memastikan betapa keren saya memang nyata adanya, hahaha…! Celaka baginya, karena ini juga mengabarkan sekaligus bahwa dialah sang pecundangnya (bagian ini saya sama sekali tak tega nulisnya. Kasihan Dian…;). Sebabnya cuma satu: dia memilih cara yang keliru, mengakuinya dengan me-remove saya. Kebijakannya itu malah bisa jadi blunder. Apa jadinya bila Dian tahu saya, seorang penggemarnya dikorbankan. Simpati pada saya pasti. Tapi jika cuma begitu tak mengapalah. Tapi bagaimana jika Dian simpati pada saya, tapi sekaligus sebal pada kebijakan yang diambil sang pecundang ( Eeh..maap…!). Masih tak mengapalah jika cuma sebal terhadap kebijakannya. Yang bahaya, dia simpati sama saya, sebal pada kebijakan itu, sekaligus terhadap si pembuat kebijakan tak perlu itu. Gawat, kan? Bukan gawat buat saya, tapi buat hubungan mereka.

Menegaskan keunggulan saya sekaligus memamerkan kekalahannya. Penonton akan tahu bahwa kemenangannya cuma satu: punya password akun Dian. Padahal dalam sebuah kompetisi, menang sekali takkan berarti jika kalahnya berkali-kali. Sebaliknya kekalahan sekali tak jarang malah jadi terapi penyembuhan yang mujarab. Pentas EURO 1988 di Jerman adalah salah satu contoh kasus terbaiknya. Belanda kalah 0-1 di babak penyisihan dari Uni Sovyet, tapi menang 2-0 atas lawan yang sama di final. JUARA.

Skenario yang semestinya adalah begini. Dia tahu bahwa saya keren, karenanya dia mesti menghormati saya, demi restu dan respek dari saya. Sikap saya. Sebagai orang keren, tentu saja saya akan balas menghormatinya. Saya takkan mencederai ke-kerenan saya dengan memusuhinya, misalnya. Toh selama ini, meski sering menulis tentang Dian, tapi tak sekalipun saya me-mention nama Dian semata demi hubungan mereka. Saya tak mau jika apdetan saya malah muncul di dinding Dian yang bakal mengacaukan romantisme mereka. Dian buat saya cuma property (hahaha…!) tulisan saya buat teman-teman saya (termasuk Dian tentunya), bukan bagi teman-temannya.

Intinya postingan sebanyak ini menegaskan bahwa saya sedang galau, dan Dian memang top. Semakin saya kecewa karenanya, semakin bertubi tulisan-tulisan saya tentangnya. Selamat Ulang Tahun, deh...!

Saya Keren Maka Saya Galau Part 2

Telah diceritakan kenapa saya begitu mengagumi Dian pada posting sebelumnya.

”Dian! Abang tu kalau tidur istirahat siang sering ngigau-ngigau nama Dian, lho!”

Ini gaya gombal aneh saya yang lainnya. Sering saya praktekkan buat teman-teman cewek yang lain. Tapi (seingat saya) sepertinya gombalan itu belum pernah saya tujukan buat Dian. Di tempat kerja saya sering menyuruh teman untuk  kirim ucapan seperti itu pada setiap ada incaran atau karyawati baru. Sampai saya kena batunya, sialnya malah ketika ucapan kiriman itu ditujukan buat Dian betulan. Kok bisa…?

Seorang teman mengaku telah menyampaikan kiriman itu buat Dian di ruang chatting Facebook. Alamatnya sudah tepat. Dian Rawa Sari, cuma penerimanya meleset: Pacar si Dian, huahua….

Celaka buat saya yang malah tak tau apa-apa. Nama saya ikut di mention. Tanpa ampun dan belas kasihan saya di-remove dan sudah pasti takkan bisa melihat Dian saya lagi, bahkan dalam daftar pencarian sekalipun. Lebih celaka lagi, Dian sudah pasti tak menyadarinya. Buktinya: apdetan status terakhir saya masih di-likenya, sampai kemudian saya pasti menghilang dari berandanya, ketika akunnya digunakan sang pacar. Peluang saya cuma satu dan satu-satunya: Dian sendiri yang meminta pertemanan kembali. Karena dia masih bisa mencari saya di pencarian. Persoalannya: tentu dia mesti menyadari terlebih dahulu bahwa dia telah memblok saya. Persoalan seriusnya: kapan dia akan menyadarinya? Persoalan lebih seriusnya: akankah dia melakukannya? hahahaha….huahuahuahuak…..huuk…huuuk…huuk…hoeeek….hoooeeeekkk….
*nangis L

Mestinya saya kecewa karenanya. Pertama karena Dian yang begitu saya kagumi ternyata begitu sembrono membagi akun pribadinya pada orang lain, meski itu pacarnya sekalipun. Tapi mohon dimengerti, ya! Kecerobohan Dian itu serupa dengan kentut Bapak saya. Mengganggu, tapi termaklumi melulu. Jadi kekecewaan saya limpahkan sama si teman yang inisiatifnya (menurut saya) berlebihan. Suatu yang tak perlu dilakukan, karena saya lebih dulu mengenal dan menggombal Dian. Saya pernah menasehatinya agar hati-hati saat chatting. Jangan sembarangan, karena bisa fatal akibatnya. Saya pernah mengalaminya sekali. “Suit..suit…!”, tulis saya di kamar chatting seorang teman cewek. Itulah kali terakhir saya bisa melihatnya…Hening.

Tapi kecewa dan bahagia, sedih dan gembira itu cuma soal memilih. Boleh meratap saat mobil dikepung banjir, tapi boleh juga berfoto-foto narsis di sampingnya. Begitu pula soal kekecewaan saya. Daftarnya bisa banyak sekali. Tapi sebaliknya daftar kegembiraan sayapun juga bisa banyak sekali. Di blok dari pertemanan adalah alasan yang sah untuk saya kecewa. tapi karena alasan itu pula saya merasa berhak untuk gembira. Ketimbang memilih kecewa, tentu saja saya akan menggunakan hak saya untuk bergembira.

Kenapa begitu? Di postingan berikutnya saja, yaa…;)

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...