Belakangan di tempat kerja saya ada jenis kegembiraan baru:
perang kentut. Tak jelas sejarah awalnya, tapi saya sudah lihat sendiri hasil
akhirnya: kegembiraan bersama. Tiba-tiba saja ini jadi permainan baru yang
mengasyikkan. Benar-benar sebagai permainan demi hiburan semata, tapi kentutnya
betulan dan kegembiraannya nyata.
Jika ibadah didefenisikan sebagai segala amal perbuatan yang
baik, maka kentut bisa pula dimasukkan dalam kategori ibadah, asal manajemennya
benar. Kentut itu mestinya baik, sehat lagi menyehatkan. Manusia akan mati jika
tak bisa kentut karena kondisi peritonitis, yaitu peradangan (iritasi) jaringan
tipis yang melapisi dinding bagian dalam perut (peritoneum). Bahkan dalam
medis, operasi sebagai tindakan penyelamatan pilihan terakhir membutuhkan
kentut sebagai petunjuk sehat dan tidaknya pasien operasi.
Benar bahwa kentut butuh tumbal sebagai korban. Tapi jihad
sebagai satu ibadah tertinggi dengan iming-iming surga langsung tanpa
pemeriksaan yang ribet juga butuh korban dan pengorbanan. Lagipula kentut tak
pernah dinyatakan sebagai perbuatan dosa oleh agama, atau tindakan criminal
yang melanggar undang-undang suatu Negara.
Ibadah adalah tugas yang yang bersifat global dan universal.
Tidak saja bagi manusia, bahkan jin juga mendapatkan tugas yang sama. Karena
itu ibadah mestinya murah dan mudah, tidak merepotkan baik bagi si Kaya atau si
Miskin, si Pincang, si Buta dan bagi manusia lainnya. Itulah, kenapa senyum
juga digolongkan sebagai satu sedekah paling sederhana. Senyum itu ibadah.
Begitu juga dengan kentut. Sebagai ibadah, kentut juga mudah
dan murah belaka. Cuma butuh kentut sebagai amunisi, seorang teman sebagai
korban dan beberapa orang sebagai saksi sejarahnya. Sebagai amunisi, kentut
cuma butuh bunyi dan bau. Korbannya pun tak perlu sampai mati. Ia cuma butuh
kentut yang mengena telak di depan hidung, sehingga membuat pemirsa tertawa dan
bergembira. Makin telak tembakannya, makin gempita kegembiraanya. Apalagi jika
baunya begitu menyengat pula. Makin banyak yang tertawa makin tinggi pahala
ibadahnya.
Mengorbankan diri dalam perang kentut itu juga bernilai
ibadah. Apalagi jika mampu pula membalas dengan kentut yang cetar membahana. Apalagi
jika baunya mampu membuat sang lawan ‘mati suri’ pula, hahaha…! Inilah tindakan
balas dendam yang bernilai ibadah. Satu praktek ibadah lawan ibadah. Betapa hidup
begitu indah dan mudahnya.
*Nikmat apalagi yang tau kau syukuri, Raul?
Si Nick, Joe, Cendy, Lubis dan Sitorres adalah beberapa
tokoh perang kentut di tempat kerja saya. Sungguh suatu perang yang unik:
MENGGEMBIRAKAN. Bahkan supervisor saja merasa perlu merestui perang kentut ini,
karena dia juga turut bergembira karenanya.
Tapi fungsi kentut sebagai ibadah akan gugur jika
manajemennya keliru. Kentut di depan hidung manejer misalnya. Saya ragu
menganggapnya sebagai ibadah karena belum teruji hasilnya. Mestinya sih, makin
meninggi kesulitannya, makin tinggi pula nilai ibadahnya. Perang melawan kaum
kafir tidak saja butuh pengorbanan harta, darah, nyawa atau sanak-saudara
keluarga yang ditinggalkan, tapi yang terpenting mestinya punya nyali lebih. Saya
tidak sedang berkata bahwa mengentuti hidung manejer setara dengan jihad
fisabilillah. Tapi saya yakin jika ada yang tertawa saat itu, berlipatlah
pahala ibadah relawan tersebut. Apalagi jika tertawanya berjamaah pula. Sayangnya
belum ada yang berani melakukan tindakan spekulasi yang butuh nyali tinggi ini.
Jujur saja, iman saya belum membuat saya berani melaksanakan prakteknya. Tapi
jujur juga, saya akan senang sekali jika ada yang bersedia melakukannya. Demi
kegembiraan saya lah, setidaknya…;)
jadi d butuh kan nyali besar utk kentuti manager ya...hahahaha
BalasHapus