Halaman

9 Jun 2013

Kentut itu Ibadah

Belakangan di tempat kerja saya ada jenis kegembiraan baru: perang kentut. Tak jelas sejarah awalnya, tapi saya sudah lihat sendiri hasil akhirnya: kegembiraan bersama. Tiba-tiba saja ini jadi permainan baru yang mengasyikkan. Benar-benar sebagai permainan demi hiburan semata, tapi kentutnya betulan dan kegembiraannya nyata.
 
Jika ibadah didefenisikan sebagai segala amal perbuatan yang baik, maka kentut bisa pula dimasukkan dalam kategori ibadah, asal manajemennya benar. Kentut itu mestinya baik, sehat lagi menyehatkan. Manusia akan mati jika tak bisa kentut karena kondisi peritonitis, yaitu peradangan (iritasi) jaringan tipis yang melapisi dinding bagian dalam perut (peritoneum). Bahkan dalam medis, operasi sebagai tindakan penyelamatan pilihan terakhir membutuhkan kentut sebagai petunjuk sehat dan tidaknya pasien operasi.

Benar bahwa kentut butuh tumbal sebagai korban. Tapi jihad sebagai satu ibadah tertinggi dengan iming-iming surga langsung tanpa pemeriksaan yang ribet juga butuh korban dan pengorbanan. Lagipula kentut tak pernah dinyatakan sebagai perbuatan dosa oleh agama, atau tindakan criminal yang melanggar undang-undang suatu Negara.

Ibadah adalah tugas yang yang bersifat global dan universal. Tidak saja bagi manusia, bahkan jin juga mendapatkan tugas yang sama. Karena itu ibadah mestinya murah dan mudah, tidak merepotkan baik bagi si Kaya atau si Miskin, si Pincang, si Buta dan bagi manusia lainnya. Itulah, kenapa senyum juga digolongkan sebagai satu sedekah paling sederhana. Senyum itu ibadah.

Begitu juga dengan kentut. Sebagai ibadah, kentut juga mudah dan murah belaka. Cuma butuh kentut sebagai amunisi, seorang teman sebagai korban dan beberapa orang sebagai saksi sejarahnya. Sebagai amunisi, kentut cuma butuh bunyi dan bau. Korbannya pun tak perlu sampai mati. Ia cuma butuh kentut yang mengena telak di depan hidung, sehingga membuat pemirsa tertawa dan bergembira. Makin telak tembakannya, makin gempita kegembiraanya. Apalagi jika baunya begitu menyengat pula. Makin banyak yang tertawa makin tinggi pahala ibadahnya.

Mengorbankan diri dalam perang kentut itu juga bernilai ibadah. Apalagi jika mampu pula membalas dengan kentut yang cetar membahana. Apalagi jika baunya mampu membuat sang lawan ‘mati suri’ pula, hahaha…! Inilah tindakan balas dendam yang bernilai ibadah. Satu praktek ibadah lawan ibadah. Betapa hidup begitu indah dan mudahnya.

*Nikmat apalagi yang tau kau syukuri, Raul?

Si Nick, Joe, Cendy, Lubis dan Sitorres adalah beberapa tokoh perang kentut di tempat kerja saya. Sungguh suatu perang yang unik: MENGGEMBIRAKAN. Bahkan supervisor saja merasa perlu merestui perang kentut ini, karena dia juga turut bergembira karenanya.

Tapi fungsi kentut sebagai ibadah akan gugur jika manajemennya keliru. Kentut di depan hidung manejer misalnya. Saya ragu menganggapnya sebagai ibadah karena belum teruji hasilnya. Mestinya sih, makin meninggi kesulitannya, makin tinggi pula nilai ibadahnya. Perang melawan kaum kafir tidak saja butuh pengorbanan harta, darah, nyawa atau sanak-saudara keluarga yang ditinggalkan, tapi yang terpenting mestinya punya nyali lebih. Saya tidak sedang berkata bahwa mengentuti hidung manejer setara dengan jihad fisabilillah. Tapi saya yakin jika ada yang tertawa saat itu, berlipatlah pahala ibadah relawan tersebut. Apalagi jika tertawanya berjamaah pula. Sayangnya belum ada yang berani melakukan tindakan spekulasi yang butuh nyali tinggi ini. Jujur saja, iman saya belum membuat saya berani melaksanakan prakteknya. Tapi jujur juga, saya akan senang sekali jika ada yang bersedia melakukannya. Demi kegembiraan saya lah, setidaknya…;)

1 komentar:

  1. jadi d butuh kan nyali besar utk kentuti manager ya...hahahaha

    BalasHapus

Seri Komplotan

Seri Komplotan mungkin serial karya Enid Blyton yang paling tidak populer di Indonesia. Meski cuma terdiri dari 6 judul, tapi inilah karya s...