Halaman

12 Agu 2013

Durhaka yang Dilestarikan

Dengan tangan terikat borgol ke belakang itulah mereka berusaha mendapatkan makanan (kerupuk) yang digantung pakai tali. Dengan cara yang sama mereka mesti mendapatkan uang (koin) yang diselipkan pada buah semangka atau jeruk bali yang digantung dan dilumuri oli, untuk keperluan makan atau beli rokok. Begitulah nasib para pejuang kita yang ditangkap dan ditahan penjajah.

Ironisnya, kita sebagai generasi penerus malah mentradisikan pelecehan tersebut tiap tahun  sebagai ajang kegembiraan.  Makin belepotan rupa mereka, makin gempita sorak kita. Makin kesulitan mereka memperolehnya, makin asyik kegembiraan kita.

Tak jauh beda dengan acara panjat pinang. Kaum colonial, pembesar dan tuan tanah menjadikan ajang perebutan hadiah ini sebagai hiburan yang murah. Di saat orangtua2 kita saling berebut hadiah itu, mereka menontonnya sebagai hiburan sambil makan-makan dan minum kopi. Dan sekarang kita merayakannya dengan gembira, bersorak dan bertepuktangan…?

Bertepuk tangan terhadap pelecehan orang lain itu pasti tidak dianjurkan. Apalagi bergembira terhadap pelecehan yang dialami moyang kita sendiri. Celakanya, tindakan durhaka ini malah kita lestarikan sebagai tradisi tahunan. Ini jelas keliru. Selain salah kaprah dan tidak tepat guna, tradisi inilah yang memperpanjang tawa bangsa penjajah kita dulu.

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya,” kata Bung Karno.

Penghargaan, aplaus seperti apa yang kita maksudkan dengan tepuk tangan jenis begini? Maksud penghargaan terhadap perjuangan para pahlawan berbelok jadi ajang pelecehan terhadap orangtua dan moyang kita sendiri. Durhaka terhadap pahlawan dan nenek moyang ini malah menegaskan betapa kerdilnya bangsa ini. Dan akankah kita selalu melestarikannya…???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bukan Lewat Lagu

 Saat Eros mencipta sebuah lagu cinta, tentang Anugerah Terindah. Dan kau pun mulai meminta aku 'tuk mencipta sebuah lagu tentang cinta....