Dengan tangan terikat borgol ke belakang itulah mereka
berusaha mendapatkan makanan (kerupuk) yang digantung pakai tali. Dengan cara
yang sama mereka mesti mendapatkan uang (koin) yang diselipkan pada buah
semangka atau jeruk bali yang digantung dan dilumuri oli, untuk keperluan makan
atau beli rokok. Begitulah nasib para pejuang kita yang ditangkap dan ditahan
penjajah.
Ironisnya, kita sebagai generasi penerus malah mentradisikan
pelecehan tersebut tiap tahun sebagai
ajang kegembiraan. Makin belepotan rupa
mereka, makin gempita sorak kita. Makin kesulitan mereka memperolehnya, makin
asyik kegembiraan kita.
Tak jauh beda dengan acara panjat pinang. Kaum colonial,
pembesar dan tuan tanah menjadikan ajang perebutan hadiah ini sebagai hiburan
yang murah. Di saat orangtua2 kita saling berebut hadiah itu, mereka
menontonnya sebagai hiburan sambil makan-makan dan minum kopi. Dan sekarang
kita merayakannya dengan gembira, bersorak dan bertepuktangan…?
Bertepuk tangan terhadap pelecehan orang lain itu pasti tidak
dianjurkan. Apalagi bergembira terhadap pelecehan yang dialami moyang kita
sendiri. Celakanya, tindakan durhaka ini malah kita lestarikan sebagai tradisi
tahunan. Ini jelas keliru. Selain salah kaprah dan tidak tepat guna, tradisi
inilah yang memperpanjang tawa bangsa penjajah kita dulu.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para
pahlawannya,” kata Bung Karno.
Penghargaan, aplaus seperti apa yang kita maksudkan dengan
tepuk tangan jenis begini? Maksud penghargaan terhadap perjuangan para pahlawan
berbelok jadi ajang pelecehan terhadap orangtua dan moyang kita sendiri.
Durhaka terhadap pahlawan dan nenek moyang ini malah menegaskan betapa
kerdilnya bangsa ini. Dan akankah kita selalu melestarikannya…???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar