Meski menulis sesuka saya, nyatanya lumayan ada juga yang
suka. Apresiasi dari mereka apapun bentuknya sungguh saya hormati. Tetap ada
yang berkomentar, meski saya tau pasti begitu repot untuk melakukannya. Ada juga ternyata
follower saya, meski saya tak menyediakan tombol ‘follow’. Aneka atensi itu
sangat menyemangati saya.
Karena tulisan saya bagus? Saya pikir sih, begitu, hahaha…!
Sebab nulisnya kan
pake computer… ;) Pernah juga sih coba nulis pakai jempol kaki, hasilnya malah
ga jelas sama sekali. Minus arti dan sulit dipahami, hakhakhak…!
Saya sendiri ragu tulisan saya emang bagus atau tidak? Kalo
posting blunder, banyak sekali malah. Di satu postingan saya tulis begini, dan
di post lainnya sebaliknya. Tapi intinya cuma satu. Saya posting sekadar untuk bergembira
saja. Syukur-syukur semua yang baca ikut gembira pula. Dari situ sebenarnya
terlihat bahwa untuk bergembira itu mudah saja. Mau nulis begini atau begitu,
ternyata semuanya malah mengembirakan saya. Jadi siapa yang bilang gembira itu
sulit? HAAAAAH….?
Saya bukan tak pernah sedih, kecewa dan semacamnya.
Mendengar Arsenal kalah dan dari Chelsea
pula saja sudah buat saya galau. *Tuh kan ,
blunder lagi, hahaha…! Tak satupun dari klub Arsenal itu yang mengenal saya.
Apa perlunya saya galau cuma gegara kekalahannya? Bahkan, jikapun mereka menang
misalnya rasanya mereka juga tak bakal berterimakasih kepada saya. Padahal saya
selalu berdoa untuk kejayaan mereka. Mestinya saya sakit hati, kan ?
Dengan menurunkan standart gembira serendah-rendahnya, maka
akan makin mudah untuk bergembira. Karena semakin rendah standarnya, makin banyak
pula tersedia kegembiraannya. Yang merendah itu temannya banyak. Kenapa banyak
orang miskin di negara kita? Karena standar kaya begitu tingginya. Misalnya,
jika yang berpenghasilan Rp10.000,-/hari sudah dianggap sebagai kaya, pasti
semakin banyak jumlah orang kaya di negara kita.
Melihat dari atas menciptakan kekayaan pandangan. Orang yang
kaya itu pasti dekat dengan kemudahan. Dalam kemudahan tersedia banyak pilihan.
Itulah kenapa dengan menurunkan standart kegembiraan, akan terlihat bahwa
kegembiraan itu ada dimana-mana. Jadi kenapa begitu bodoh untuk galau melulu….?
*kode :D
Lagipula galau itu kufur nikmat. Nah, lho…?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar