Halaman

5 Okt 2013

Tentang Si Anu

Posting Hari Ke-6

Alasan saya jadi member suatu blog beragam, tapi satu yang pasti saya hanya mengikuti yang saya kehendaki. Artinya tawaran komen balik apalagi follow balik, maaf saja saya tak minat. Bukan tak butuh komen, sebab itu amat berpengaruh terhadap peringkat indek di mesin pencari. Saya butuh komen, tapi lebih butuh lagi apresiasi. Di-follow karena karena prestasi pasti lebih berarti ketimbang follback karena pamrih.

(Sekarang) ada 3 orang selebriti yang blognya saya ikuti. Si Anu saya ikuti karena dia adalah mentor saya. Orang ini hebat sekali. Saking hebatnya saya jadi benci setengah mati terhadapnya. Beragam ide yang (akan) muncul di kepala saya dirampoknya. Begitu baca tulisannya, eee… itu kan yang pengen saya tulis. SIAAAL…! Lancang sekali dia. Tak suka kali ya, saya, sang murid menyalip ketenarannya.

Mau dilanjutkan nulis? Rasanya aneh. Dipaksakan nulis, postingan saya bakal kehilangan identitasnya. Ini sungguh mengganggu kreatifitas saya. Nulis sedikit beda percuma, sebab sudah pasti taste-nya berasa hambar belaka.

Saya senang bisa jadi inspirasi buat seseorang. Saya pernah update status yang besoknya jadi trending topic di tempat kerja saya. Besoknya, seorang teman juga update status dengan tema yang sama, gaya juga sama tapi isinya amat beda. Dan saya menyukainya.

Sebagai lucu-lucuan saya pernah update status dengan gaya obrolan dengan petugas SPBU, bahwa saya bermaksud isi bensin 2.500 aja, itupun pakai duit koin yang saya hitung seratus demi seratus, hahaha…!

Ehh…besoknya muncul pula status si teman, lagi ngobrol dengan petugas SPBU untuk isi bensin 100.000.

“Mana bisa!”, protes si petugas.

“Terus saja, Bang!. Sampe tumpeh-tumpeh juga tak apa-apa. Kalo perlu semprot kan aja ke taman itu. Yang penting pas 100.000”, katanya.

Persoalannya, tak mudah menegaskan batasan karya orisinal dan yang sekadar terinspirasi tersebut. UU saja bingung jika sudah menyangkut soal sengketa hasil karya cipta. Beberapa kali kasus Aple dan Samsung di Amerika bisa kita ambil sebagai contoh. Yang satu diputuskan menang oleh pengadilan. Yang kalah naik banding dan berbalik jadi pemenang. Yang menetapkan vonisnya memang 2 pihak yang berbeda, tapi pasti mereka sama-sama sudah teruji kapasitas dan kapabilitasnya.

Untuk amannya, saya pilih mengalah saja pada mentor saya itu. Kalaupun terpaksa, namanya terpaksa pula saya lampirkan pada postingan saya. Tak rela saya sebetulnya. Saya begitu membencinya, ehh namanya ada di tulisan saya. Sebagai idola pula. Saya mengidolainya, padahal ide-ide saya melulu didahului olehnya. Ini rumit. Lepas dari mulut jengkol, masuk ke mulut petai.

*Kepanjangan, besok dilanjut lagi yaa…!

2 komentar:

  1. mana link mentornya bang ebat? nak tengok juga nih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baru nyadar, kalo ga diingetin. Pantesan itu blog ga pernah di update. Pernah tu Eyang ngetweet kalo blognya di hack beberapa hari silam. Follow tweet-nya aja deh, atau like FP Fb-nya. https://mobile.twitter.com/Prie_GS . https://m.facebook.com/priegs.refleksi?ref=stream&refid=46 . Maaf, ya! Saya ga pandai narok link. Itu link pun saya kasih versi mobile-nya. PC saya Maha Lelet, jadi cuma bisa main pakai versi mobile-nya.

      Hapus

Seri Komplotan

Seri Komplotan mungkin serial karya Enid Blyton yang paling tidak populer di Indonesia. Meski cuma terdiri dari 6 judul, tapi inilah karya s...