Halaman

19 Nov 2013

Iklan Kejujuran

Hari ini saya menolak lembur, sebab ada seorang teman yang mengadakan hajatan dan saya diundang untuk datang. Sebenarnya kami semua diundang, tapi cuma saya sendiri yang mau menaggapi undangannya itu. Untuk alasannya saya akan cerita di lain kesempatan, Insya Allah..:D . Saya cuma ingin berkata bahwa keputusan saya itu sama sekali tak ada istimewanya. Saya diundang, maka saya datang. Begitu saja.

Dengan menolak lembur, berarti saya terancam rugi sekitar Rp 100.000,-, plus makan malam yang memang sudah dijatah sebagai hak karyawan lembur. Okelah, makan malam saya dapati gantinya karena saya mendatangi resepsi kawinan sang teman. Tapi tetap saja hitungannya merugi, sebab untuk mendatangi pesta itu saya juga mesti membawa kado bukan? Dan itu berarti pengeluaran. Itu merugi, jika kerugian tersebut didefenisikan dari sudut pandang uang.

Beberapa hari belakangan ini, di TL Facebook saya bagian kanan ada iklan atau semacam berita bersponsor dengan cerita tentang seorang polisi yang menolak sogokan. Tak tanggung-tanggung, polisi itu disebut bermental baja karena berani menolak sogokan tersebut. Saya tersinggung dengan sebutan ‘bermental baja’ tersebut. Apa istimewanya? Uang sogokannya pun juga tak besar. Cuma Rp 100.000,- saja. Bandingkan dengan keberanian saya menolak untuk lembur, seperti yang telah saya kabarkan di atas. Mestinya saya juga berhak donk, atas sebutan ‘bermental baja’ tersebut?

Saya tahu pasti bahwa polisi itu penggemar uang, sebab saya juga menggemarinya. Tapi polisi itu juga tahu pasti bahwa uang suap, si penyuap dan si penerima suap itu sama saja bermasalahnya. Ajaran agama dan aturan Negara sama-sama tak merestuinya.

Jadi, kejadian polisi menolak uang suap sungguh suatu yang biasa saja. Sama sekali tak ada istimewanya. Kenapa menjadi luar biasa? Sebab yang biasa itu ternyata berupa sesuatu yang tak biasa, hahaha…. Nah inilah yang bahaya. Kejujuran telah menjadi sesuatu yang istimewa, sebab sudah tak mudah menemukannya. Saya bahkan imajinasikan bahwa akibat kejujurannya itu, Si Polisi justru akan dilabeli sebagai polisi bodoh, sok suci, sok bersih dan sebagainya. Sebutan yang aneh.

Kenapa orang jujur disebut sok suci atau sok bersih? Bahkan tak jarang malah di-‘bully’ sebagai orang bodoh? Itu bukan sok, sebab dia hanya menjalankan apa yang sudah digariskan oleh norma. Yaa norma agama, pun norma social. Bahwa jika sakit, diziarahi. Lapar maka makan atau gatal maka garuk, hahaha…!

Di Amerika, salah satu hari di bulan November ini diabadikan dengan sebutan Dave Tally Day. Sebutan itu merujuk kepada suatu peristiwa seorang pemulung bernama Dave Tally menemukan uang sebesar $3.300 dan mengembalikannya kepada si empunya. Itu sungguh istimewa, sebab tak mudah menemukan orang jujur begitu. Karena istimewa itulah maka hari pada saat kejaadian tersebut diperingati setiap tahun sebagai hari Dave Tally. *Maaf, saya sungguh tak bisa menemukan tanggal kejadian yang akurat, tapi yang pasti bulannya November.

Di Indonesia tak ada suatu tanggal yang diabadikan sebagai satu ‘Hari Kejujuran’ seperti yang di Amerika itu. Mudah-mudahan karena tak perlu, sebab memang tak ada yang istimewa dari suatu kejujuran. Sejak kecil kita sudah dianjurkan untuk jujur, dan memang begitulah seharusnya.

Tapi iklan soal polisi jujur ini yang mengusik saya bahwa kejujuran itu memang sudah tak lagi soal yang biasa. Karakter iklan itu mesti unik dan menarik dan menipu, hahaha…!. Jadi iklan kejujuran itu cuma sekadar mengabarkan bahwa kejujuran itu memang unik, tak biasa. Dan kenapa sampai sekarang tak ada ‘Hari Kejujuran’ di Indonesia malah membuat saya curiga, jangan-jangan memang tak ada yang jujur di negara kita? Lalu iklan itu? Kan sudah saya bilang, selain unik dan menarik iklan itu juga mesti menipu, hahaha…(lagi)

*Ngawur Tengah Malam…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Seri Komplotan

Seri Komplotan mungkin serial karya Enid Blyton yang paling tidak populer di Indonesia. Meski cuma terdiri dari 6 judul, tapi inilah karya s...