Dengan menolak lembur, berarti saya terancam rugi sekitar Rp
100.000,-, plus makan malam yang memang sudah dijatah sebagai hak karyawan
lembur. Okelah, makan malam saya dapati gantinya karena saya mendatangi resepsi
kawinan sang teman. Tapi tetap saja hitungannya merugi, sebab untuk mendatangi
pesta itu saya juga mesti membawa kado bukan? Dan itu berarti pengeluaran. Itu
merugi, jika kerugian tersebut didefenisikan dari sudut pandang uang.
Beberapa hari belakangan ini, di TL Facebook saya bagian
kanan ada iklan atau semacam berita bersponsor dengan cerita tentang seorang
polisi yang menolak sogokan. Tak tanggung-tanggung, polisi itu disebut
bermental baja karena berani menolak sogokan tersebut. Saya tersinggung dengan
sebutan ‘bermental baja’ tersebut. Apa istimewanya? Uang sogokannya pun juga
tak besar. Cuma Rp 100.000,- saja. Bandingkan dengan keberanian saya menolak
untuk lembur, seperti yang telah saya kabarkan di atas. Mestinya saya juga
berhak donk, atas sebutan ‘bermental baja’ tersebut?
Saya tahu pasti bahwa polisi itu penggemar uang, sebab saya
juga menggemarinya. Tapi polisi itu juga tahu pasti bahwa uang suap, si penyuap
dan si penerima suap itu sama saja bermasalahnya. Ajaran agama dan aturan
Negara sama-sama tak merestuinya.
Jadi, kejadian polisi menolak uang suap sungguh suatu yang
biasa saja. Sama sekali tak ada istimewanya. Kenapa menjadi luar biasa? Sebab
yang biasa itu ternyata berupa sesuatu yang tak biasa, hahaha…. Nah inilah yang
bahaya. Kejujuran telah menjadi sesuatu yang istimewa, sebab sudah tak mudah
menemukannya. Saya bahkan imajinasikan bahwa akibat kejujurannya itu, Si Polisi
justru akan dilabeli sebagai polisi bodoh, sok suci, sok bersih dan sebagainya.
Sebutan yang aneh.
Kenapa orang jujur disebut sok suci atau sok bersih? Bahkan
tak jarang malah di-‘bully’ sebagai orang bodoh? Itu bukan sok, sebab dia hanya
menjalankan apa yang sudah digariskan oleh norma. Yaa norma agama, pun norma
social. Bahwa jika sakit, diziarahi. Lapar maka makan atau gatal maka garuk,
hahaha…!
Di Amerika, salah satu hari di bulan November ini diabadikan
dengan sebutan Dave Tally Day. Sebutan itu merujuk kepada suatu peristiwa
seorang pemulung bernama Dave Tally menemukan uang sebesar $3.300 dan
mengembalikannya kepada si empunya. Itu sungguh istimewa, sebab tak mudah
menemukan orang jujur begitu. Karena istimewa itulah maka hari pada saat
kejaadian tersebut diperingati setiap tahun sebagai hari Dave Tally. *Maaf,
saya sungguh tak bisa menemukan tanggal kejadian yang akurat, tapi yang pasti
bulannya November.
Di Indonesia tak ada suatu tanggal yang diabadikan sebagai
satu ‘Hari Kejujuran’ seperti yang di Amerika itu. Mudah-mudahan karena tak
perlu, sebab memang tak ada yang istimewa dari suatu kejujuran. Sejak kecil
kita sudah dianjurkan untuk jujur, dan memang begitulah seharusnya.
Tapi iklan soal polisi jujur ini yang mengusik saya bahwa
kejujuran itu memang sudah tak lagi soal yang biasa. Karakter iklan itu mesti
unik dan menarik dan menipu, hahaha…!. Jadi iklan kejujuran itu cuma sekadar
mengabarkan bahwa kejujuran itu memang unik, tak biasa. Dan kenapa sampai
sekarang tak ada ‘Hari Kejujuran’ di Indonesia malah membuat saya
curiga, jangan-jangan memang tak ada yang jujur di negara kita? Lalu iklan itu?
Kan sudah
saya bilang, selain unik dan menarik iklan itu juga mesti menipu, hahaha…(lagi)
*Ngawur Tengah Malam…!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar