Halaman

6 Des 2013

Tawa Kehilangan

Jika mau sebenarnya saya punya peluang mendapatkan kembali handphone saya yang hilang itu. Pada saat handphone itu jatuh seorang pengendara lain yang melihat memutuskan mengejar saya ketimbang mengambil handphone saya yang jatuh itu. Saya memang berhasil dikejarnya, tapi handphone gagal selamat. Begitu dia beri tahu soal handphone itu saya segera melihat ke arah yang ditunjuknya. Saat itulah saya melihat seorang supir trailer tanpa gandengan sedang mengambil sesuatu yang bisa dipastikan adalah handphone saya. Ketika saya datangi dia sudah kembali di belakang kemudi mobilnya meski belum menjalankannya. Saya putuskan untuk menunggu reaksi si supir dan ternyata dia malah menjalankan mobilnya, maka berakhirlah petualangan saya bersama handphone itu, cukup sekitar 2 bulan saja.

Si supir pasti mengerti bahwa sayalah pemilik handphone yang tercecer itu. Saat saya masih memutar motor untuk berbalik, dia sempat menoleh kea rah saya di kejauhan dan sayapun melihat dia buru-buru menyelamatkan barang temuannya itu. Ketika mendatanginya pun saya berhenti tepat di depan mobilnya. Dia juga sempat melihat ketika saya menatapnya dari bawah kepala mobilnya yang tinggi itu, menunggu reaksinya. Tapi ketika dia putuskan untuk menjalankan mobilnya, saya pun segera mengikhlaskan, bahwa handphone itu memang sudah bukan milik saya lagi.

Masih fifty-fifty sebenarnya. Saya bisa saja langsung minta HP saya saat itu juga, toh mobil besar itu juga belum dijalankan saat saya datangi. Tapi reaksinya menjalankan mobil itulah yang menghentikan niat saya. Sudah jelas saya tak mungkin mendebatnya, sebab HP itu pasti sudah disembunyikan olehnya. Saya juga tak mungkin menggeledah seluruh mobilnya bukan? Bukan karena mobilnya besar, tapi juga karena tak ada etika yang menganjurkannya. Lagipula saya memang tak berniat untuk berdebat yang sudah saya tahu hasilnya: kalah.

Pilihan lainnya: saya kejar mobilnya. Juga tak sulit sebab selain mobilnya besar, saya juga mengejarnya pakai motor. Saya catat dan tandai mobilnya. Gampang saja, sebab itu mobil perusahaan dan besar pula. Pasti gampang pula untuk bertemu dengannya lagi. Atau langsung saja saya lapor polisi dengan modal nomor polisi, lengkap dengan ciri-ciri mobil plus pengemudinya.

Tapi begitulah, saya memang tak berniat melakukannya. Saya tak pernah punya pengalaman yang indah bersama polisi. Ego selalu memerintahkan saya benci terhadap yang namanya Pak Polisi. Saya cuma suka sama Polwan, hahaha…!  Kebencian saya cukup beralasan sebab ternyata Gus Dur (alm) pun sepakat dengan saya.

“Polisi yang baik cuma ada 3. Polisi Hoegeng, Patung Polisi dan Polisi Tidur”, katanya.

Jika kau kehilangan dan lapor polisi, maka bersiaplah untuk sekali lagi kehilangan, setidaknya uang untuk membeli surat kehilangan yang mereka jual seikhlasnya, asal jangan di bawah Rp20.000,-. Padahal itu sudah 2 tahun yang lalu. Entah berapa harganya sekarang, sebab tahun kemaren saja UMK naiknya mencapai Rp750.000,- hahaha…! (apa hubungannya, coba..?)

Berurusan dengan polisi sungguh bukan pengalaman yang asyik. Saya pernah seharian menemani seorang teman yang motornya disita sebab alpa membawa surat-suratnya. Sedari pagi menunggu, yang katanya cuma pergi sarapan sebentar dan begitu kembali sore hari malah disuruh agar besoknya saja datang lagi. Jika melapor kehilangan, mesti tunggu dulu 1x24 jam baru bisa dibuat berita acaranya. Padahal jika ke mengadu kehilangan kepada dukun, kita malah dianjurkan untuk melapor sebelum mencapai 24 jam yak? Hehehe…!

Tapi karena saya anti dukun dan benci polisi, saya pilih mengadu saja ke Facebook. Dan terbukti, cuma dalam hitungan menit langsung ditanggapi, haha..!  Seluruh nusantara menanggapi pengaduan saya. Selain teman-teman di Batam, ada juga teman dari kampung, dari Jakarta, Jawa dan bahkan ada yang dari Malaysia juga, hahaha…! Selain itu, jika melapor ke dukun atau polisi kita pakai menangis dan meratap, mengadu ke Facebook malah menghasilkan kegembiraan.

Ini curcol sejatinya. Tapi intinya seperti yang sering saya katakan bahwa gembira itu semudah menggaruk. Meski kehilangan, toh saya masih bisa tertawa gembira dan menggembirakan. Lihat saja ‘berkas pengaduan’ saya itu. Bukan saya saja yang tertawa bukan? Banyak yang memberi jempol, pasti karena menyukainya. Teman-teman saya banyak yang ikut gembira karenanya.. Jadi kehilangan saya malah jadi ibadah karenanya, hahaha..!

Segalanya sudah ditentukan Tuhan. Saya mukmin yang percaya takdir baik dan buruk. Segala kejadian ada pelajaran di dalamnya. Itulah dia hikmah. Saya mesti bersyukur atas atas apapun yang Tuhan timpakan terhadap saya, sebab memang begitulah mestinya: bersyukur. Tak mudah memang bersyukur atas kehilangan. Tapi saya punya caranya. Coba melihat dengan sudut pandang yang lain. Disitulah terlihat, meski saya kehilangan handphone, kontak teman-teman termasuk nomor-nomor family saya sendiri, ternyata nomor Dian malah selamat, alhamdulillah… :D

Udah, ahh, hahaha…!

2 komentar:

  1. wah, sepertinya setiap orang pernah mengalami ini bang,
    yang paling sering saya alami ketika pacar saya diambil orang dan saya sama sekali tak melakukan apa-apa :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini komennya absurd bangat yak? Mo curhat juga atau mau nyindir saya juga? Anwey, ini komen yg paling banyak ngasih ide buat post2 berikutnya, sueeer...! (meski saya masih ragu untuk publish, takut makin keliatan norak, hehehe...!) Sangat beda sama komen yg sebelumnya, yg bikin saya mandul (suri), dan akhirnya gagal nyampe target. Salah ente tuh, hahaha... :D

      Hapus

Seri Komplotan

Seri Komplotan mungkin serial karya Enid Blyton yang paling tidak populer di Indonesia. Meski cuma terdiri dari 6 judul, tapi inilah karya s...