Jawaban itu biasanya cuma karena gengsi dan ego tinggi saya
saja, sebab kadang saya memang sedang lapar-laparnya. Tapi gengsi itulah cuma
yang saya punya, demi menyelamatkan harga diri saya. Mereka pasti tak bermaksud
merendahkan, tapi tetap saja saya mesti menjaga kehormatan diri saya sendiri,
bukan? Bukan dihadapan mereka, sebab mereka mengerti seluruhnya dari saya. Itu
cuma demi menghindari fitnah dan prasangka buruk dari orang-orang sekitar mereka
saja.
Ini nyata. Malah di Bengkong misalnya, ada salah satu
orangtua angkat saya yang bahkan begitu melihat saya langsung buru-buru
menyiapkan makan, kemudian baru memanggil saya. Dia bahkan tak peduli apa saya
sudah makan sebelumnya, yang penting saya mesti makan sekarang juga. Suatu kali
saya pernah kost dan kebetulan bulan puasa pula. Dan kamu tau, setiap Sahur
saya selalu dikirimi makanan yang diantar oleh anaknya, teman saya. Kadang saya
yang dijemput untuk sahur bersama mereka di Rumah. Oowh sungguh, ingin saya
menangis haru karenanya.
Suatu kali mereka sekeluarga pulang kampung, dan saya
dititipi menjaga rumah dan anak gadisnya yang cuma 2 tahun lebih muda dari
saya. Sudah begitu cantik pula, hahaha…! Mereka percaya begitu saja kepada
saya. Hebatnya, para tetangga yang lain pun tak ada yang merasa terusik dan
resah karena mereka semua mengerti integritas saya.
Hari itu dia pulang kerja kelewat malam, sedang saya sudah
lapar luar biasa. Biasanya sih, dia yang belikan saya makan sebab paham bahwa
saya tak punya uang, haha…!
Lapar sudah tak bisa ditahan lagi. Saya butuh pertolongan
segera. Apa boleh buat, ego besar dan gengsi tinggi itu terancam gagal saya
pertahankan. Berjalan menunduk menahan lapar, saya berjalan ke gang belakang
menuju rumah seorang teman. Apapun akan saya lakukan demi berdamai dengan
kelaparan. Entah minta makan (syukur2 ditawari seperti biasanya, hehehe…!) atau
kalau perlu minjam uang, yang sama sekali hampir tak pernah saya lakukan.
Tapi Tuhan Yang Maha Pemurah itu juga Maha Mengerti saya dan
dilema yang saya hadapi. Tuhan hanya menguji sebatas kemampuan hambaNYA. Di
tengah perjalanan saya melihat uang 10 ribu tergeletak begitu saja. Jika turut
aturan agama, uang temuan itu mestinya saya serahkan kepada yang punya. Karena
tak tahu siapa pemiliknya, mesti diumumkan sebagai barang hilang dan uangnya
mesti disimpan dulu selama setahun. Dari sini saja sudah kelihatan, bagaimana
kualitas saya menghadapi ujian Tuhan? Saya gagal melakukannya.
Tapi, terhadap Tuhan saya positif thinking saja. Tuhan tidak
ingin saya menggadaikan begitu saja ego dan gengsi yang sudah saya jaga begitu
lama. Ego dan gengsi saya itu bukan untuk soal yang buruk, sebab bahkan menjadi
kuli dan berjalan kaki kesana-kemari pun masih suka saya lakoni. Jadi inilah
sifat saya yang Tuhan ingin saya menjaganya, begitu saja.
Harga nasi gorengnya cuma 4500 waktu itu, sekitar tahun
2007. Jadi mestinya ada kembalian 5500, Tapi karena tak ada uang 500, si
pemilik warung minta maaf.
“Yang 500nya besok saja ya! Tak ada duit kecil”, katanya.
Waah, ini modus. Malam sebelumnya saya juga makan nasi
goreng di sini, dan juga masih punya kembalian 500. Tapi kembaliannya itu saya
ikhlaskan begitu saja. “Toh, cuma 500 saja”, pikir saya waktu itu.
Mudah memang mengecilkan saat kita sedang besar. 500 waktu
itu beda dengan 500 saat ini. 500 yang saya ikhlaskan kemaren kecil saja, sebab
saya masih punya banyak saat itu. Tapi 500 kali ini pas sekali untuk rokok
Samsu setengah bungkus, hahaha…! Jadi soal ikhlas dan tidak bagi saya cuma
senilai harga rokok, haha…! Dan kualitas keikhlasan saya memang begitu buruknya
dan tak lulus uji.
Yaa begitulah. Selesai makan saya biasanya merokok. Tapi
Tuhan hanya memberi saya makan, bukan rokok. Begitu sampai di warung yang jual
rokok, kembalian yang 5000 itu raib entah kemana. HILANG.
*Sekian, mudah-mudahan ada hikmahnya, aamiiin…! Share juga donk, kisah inspiratif kalian…!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar