Halaman

7 Des 2013

Tuhan Memberi Makan, Bukan Rokok

Salah satu sifat yang begitu lengket pada diri saya adalah ego yang terlalu, plus gengsi yang keterlaluan pula. Saya paling enggan meminta tolong, jika masih mungkin saya atasi sendiri. Begitu pula soal meminjam uang. Bertahun bergaul dengan teman, sungguh jarang saya melakukannya, meski untuk uang sebesar 50ribu saja. Lidah saya mendadak kaku jika hendak berkata pinjam uang. Kadang saya memang mampu mengatakannya, tapi cuma separohnya saja. Misal saya butuh 50, tapi mulut saya cuma minta 20 saja. Nah, kalo yang begitu sering memang, haha…! Hampir tak ada gunanya, sebab masih banyak kekurangannya. Kesimpulannya, jika suatu saat saya minjam uang sama kalian, berikan saya 2x lipatnya, haha…!

Gaya bergaul membuat saya disayangi banyak orang mulai dari anak-anak sampai kepada orang-orang tua. Saya sungguh terharu bahwa banyak sekali teman ataupun orangtua yang setiap bertemu selalu bertanya, “kau sudah makan belum?”. Dan biasanya saya selalu menjawab, “sudah”.

Jawaban itu biasanya cuma karena gengsi dan ego tinggi saya saja, sebab kadang saya memang sedang lapar-laparnya. Tapi gengsi itulah cuma yang saya punya, demi menyelamatkan harga diri saya. Mereka pasti tak bermaksud merendahkan, tapi tetap saja saya mesti menjaga kehormatan diri saya sendiri, bukan? Bukan dihadapan mereka, sebab mereka mengerti seluruhnya dari saya. Itu cuma demi menghindari fitnah dan prasangka buruk dari orang-orang sekitar mereka saja.

Ini nyata. Malah di Bengkong misalnya, ada salah satu orangtua angkat saya yang bahkan begitu melihat saya langsung buru-buru menyiapkan makan, kemudian baru memanggil saya. Dia bahkan tak peduli apa saya sudah makan sebelumnya, yang penting saya mesti makan sekarang juga. Suatu kali saya pernah kost dan kebetulan bulan puasa pula. Dan kamu tau, setiap Sahur saya selalu dikirimi makanan yang diantar oleh anaknya, teman saya. Kadang saya yang dijemput untuk sahur bersama mereka di Rumah. Oowh sungguh, ingin saya menangis haru karenanya.

Suatu kali mereka sekeluarga pulang kampung, dan saya dititipi menjaga rumah dan anak gadisnya yang cuma 2 tahun lebih muda dari saya. Sudah begitu cantik pula, hahaha…! Mereka percaya begitu saja kepada saya. Hebatnya, para tetangga yang lain pun tak ada yang merasa terusik dan resah karena mereka semua mengerti integritas saya.

Hari itu dia pulang kerja kelewat malam, sedang saya sudah lapar luar biasa. Biasanya sih, dia yang belikan saya makan sebab paham bahwa saya tak punya uang, haha…!

Lapar sudah tak bisa ditahan lagi. Saya butuh pertolongan segera. Apa boleh buat, ego besar dan gengsi tinggi itu terancam gagal saya pertahankan. Berjalan menunduk menahan lapar, saya berjalan ke gang belakang menuju rumah seorang teman. Apapun akan saya lakukan demi berdamai dengan kelaparan. Entah minta makan (syukur2 ditawari seperti biasanya, hehehe…!) atau kalau perlu minjam uang, yang sama sekali hampir tak pernah saya lakukan.

Tapi Tuhan Yang Maha Pemurah itu juga Maha Mengerti saya dan dilema yang saya hadapi. Tuhan hanya menguji sebatas kemampuan hambaNYA. Di tengah perjalanan saya melihat uang 10 ribu tergeletak begitu saja. Jika turut aturan agama, uang temuan itu mestinya saya serahkan kepada yang punya. Karena tak tahu siapa pemiliknya, mesti diumumkan sebagai barang hilang dan uangnya mesti disimpan dulu selama setahun. Dari sini saja sudah kelihatan, bagaimana kualitas saya menghadapi ujian Tuhan? Saya gagal melakukannya.

Tapi, terhadap Tuhan saya positif thinking saja. Tuhan tidak ingin saya menggadaikan begitu saja ego dan gengsi yang sudah saya jaga begitu lama. Ego dan gengsi saya itu bukan untuk soal yang buruk, sebab bahkan menjadi kuli dan berjalan kaki kesana-kemari pun masih suka saya lakoni. Jadi inilah sifat saya yang Tuhan ingin saya menjaganya, begitu saja.

Ada sensasi aneh yang saya rasakan terhadap uang itu. Saking tak ingin melepasnya, uang itu saya genggam erat, bukannya dimasukkan ke dalam saku atau dompet seperti lain biasanya. Saya betul-betul tak ingin untuk kehilangannya. Sambil berjalan kaki ke warung yang jualan nasi goreng, uang itu saya genggam terus. ERAT.

Harga nasi gorengnya cuma 4500 waktu itu, sekitar tahun 2007. Jadi mestinya ada kembalian 5500, Tapi karena tak ada uang 500, si pemilik warung minta maaf.

“Yang 500nya besok saja ya! Tak ada duit kecil”, katanya.

Waah, ini modus. Malam sebelumnya saya juga makan nasi goreng di sini, dan juga masih punya kembalian 500. Tapi kembaliannya itu saya ikhlaskan begitu saja. “Toh, cuma 500 saja”, pikir saya waktu itu.

Mudah memang mengecilkan saat kita sedang besar. 500 waktu itu beda dengan 500 saat ini. 500 yang saya ikhlaskan kemaren kecil saja, sebab saya masih punya banyak saat itu. Tapi 500 kali ini pas sekali untuk rokok Samsu setengah bungkus, hahaha…! Jadi soal ikhlas dan tidak bagi saya cuma senilai harga rokok, haha…! Dan kualitas keikhlasan saya memang begitu buruknya dan tak lulus uji.

Yaa begitulah. Selesai makan saya biasanya merokok. Tapi Tuhan hanya memberi saya makan, bukan rokok. Begitu sampai di warung yang jual rokok, kembalian yang 5000 itu raib entah kemana. HILANG.

*Sekian, mudah-mudahan ada hikmahnya, aamiiin…! Share juga donk, kisah inspiratif kalian…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bukan Lewat Lagu

 Saat Eros mencipta sebuah lagu cinta, tentang Anugerah Terindah. Dan kau pun mulai meminta aku 'tuk mencipta sebuah lagu tentang cinta....