Miris sekali mengetahuinya. ABG dibunuh sepasang ABG dengan
alasan yang sungguh remeh belaka. Pelaku cewek dengan alasan cemburu, sedang
yang cowok dengan motivasi ingin menegaskan keseriusan cintanya terhadap
pasangannya tersebut. Saking nafsunya untuk menegaskan cinta, dia sendiri yang
mengeksekusi sang mantan, wanita yang pernah begitu intim dengannya. Lebih
mirisnya lagi, setelah itu para pelaku juga sempat berkicau di twitter
mengucapkan ‘duka citanya’. Aneh, sebab ada pula tweet yang mensyukuri nasib tragis
yang dialami korban.
“Mampus, loe," kicaunya.
Ini jelas sudah di luar akal sehat. Bagaimana mungkin ada
manusia yang begitu percaya dirinya narsis setelah melakukan pembunuhan.
Apalagi yang dibunuh adalah teman, seorang yang pernah mampir di hidup, hati
dan jiwanya. Seorang yang pernah dekat secara emosional begitu takkan mungkin
bisa hilang dari hidupnya, sampai kapanpun. Dekat secara emosional tidak melulu
soal rasa cinta, tapi juga karena benci. Itulah kenapa sampai ada yang bilang,
jangan terlalu benci jika tak ingin jatuh cinta. Itu sudah pengetahuan umum. Saya
tak tau bagaimana perasaan Dian terhadap saya sekarang. Tak
penting, karena saya telah berhasil menyusup ke dalam hatinya. Dan pasti
mustahil dia mampu melupakannya. Yang dibutuhkannya hanyalah manajemen hati,
mengelola dan mengatur agar kehadiran saya bermanfaat dalam hidupnya. Begitu
saja.
Ehh, kok larinya ke Dian ya?
Tapi memang begitulah mestinya. Kasus 3 ABG itulah contoh
mutakhir betapa bahayanya jika gagal dalam mengelola hati. Energi besar yang
terdapat dalam kebencian gagal dikelolanya dengan baik. Siapa bilang dendam dan
benci tak bisa dikelola kea rah yang positif. Memanfaatkan kebencian Ayya yang
begitu mendalam terhadapnya, Azzam akhirnya malah mampu menikahinya (Sinetron
Para Pencari Tuhan). Sakit hati dan dendam saya terhadap manejer di tempat
kerja luar biasa menguasai hati saya. Belum juga seminggu dia membuang saya,
sudah 12 post baru lahir di blog ini, hehehe!
Tapi meski begitu, mampukah saya melupakan sakit hati dan
dendam saya terhadapnya? Mustahil. Kasarnya, jika satu saat saya bertemu dan
mendapatinya sedang ‘mengemis’ di jalanan, walau Rp1000, - saya ragu mampu
menyantuninya. Kalaupun mungkin saya beri, itu juga pasti bukan karena saya telah
melupakan perlakuannya terhadap saya. Saya yakin, itu saya lakukan sebagai ‘ejekan’
karena dia telah menghina dan melecehkan saya. Seorang yang pernah dekat secara
emosional entah itu karena cinta atau dendam, mustahil bisa untuk dilupakan.
Lihat, dengan percaya diri mereka berkicau di twitter. Ini
sungguh tak wajar dan tak biasa. Betapa banyak kasus penembakan brutal yang
dilakukan seorang mahasiswa terhadap rekan2 dan dosennya diakhiri dengan
menembak diri mereka sendiri. Wajar, sebab mereka telah menghitung
kemampuannya. Mereka hanya berani menembak, tapi pasti tak berani berhadapan
dengan hukum.
Pembunuhan itu terjadi karena pasangan ABG itu gagal dalam
menguasai dan mengendalikan emosinya. Celakanya, mustahil mereka mampu
melupakan apa yang telah mereka lalukan tersebut. Perasaan berdosa, rasa
bersalah sebagai pecundang bakal menghantui sisa-sisa hidup mereka.
Pertanyaannya, kenapa mereka gagal dalam menguasai emosinya itu?
Solusinya? Hentikan semua tayangan program-program dan
sinetron sampah di TV. Dari situlah mereka meneladani betapa ‘biasanya’
perbuatan mereka itu.
*Selamat Pagi (:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar