Halaman

6 Mar 2014

Manajemen Hati

Miris sekali mengetahuinya. ABG dibunuh sepasang ABG dengan alasan yang sungguh remeh belaka. Pelaku cewek dengan alasan cemburu, sedang yang cowok dengan motivasi ingin menegaskan keseriusan cintanya terhadap pasangannya tersebut. Saking nafsunya untuk menegaskan cinta, dia sendiri yang mengeksekusi sang mantan, wanita yang pernah begitu intim dengannya. Lebih mirisnya lagi, setelah itu para pelaku juga sempat berkicau di twitter mengucapkan ‘duka citanya’. Aneh, sebab ada pula tweet yang mensyukuri nasib tragis yang dialami korban.
                                                                                                               
“Mampus, loe," kicaunya.

Ini jelas sudah di luar akal sehat. Bagaimana mungkin ada manusia yang begitu percaya dirinya narsis setelah melakukan pembunuhan. Apalagi yang dibunuh adalah teman, seorang yang pernah mampir di hidup, hati dan jiwanya. Seorang yang pernah dekat secara emosional begitu takkan mungkin bisa hilang dari hidupnya, sampai kapanpun. Dekat secara emosional tidak melulu soal rasa cinta, tapi juga karena benci. Itulah kenapa sampai ada yang bilang, jangan terlalu benci jika tak ingin jatuh cinta. Itu sudah pengetahuan umum. Saya tak tau bagaimana perasaan Dian terhadap saya sekarang. Tak penting, karena saya telah berhasil menyusup ke dalam hatinya. Dan pasti mustahil dia mampu melupakannya. Yang dibutuhkannya hanyalah manajemen hati, mengelola dan mengatur agar kehadiran saya bermanfaat dalam hidupnya. Begitu saja.

Ehh, kok larinya ke Dian ya?

Tapi memang begitulah mestinya. Kasus 3 ABG itulah contoh mutakhir betapa bahayanya jika gagal dalam mengelola hati. Energi besar yang terdapat dalam kebencian gagal dikelolanya dengan baik. Siapa bilang dendam dan benci tak bisa dikelola kea rah yang positif. Memanfaatkan kebencian Ayya yang begitu mendalam terhadapnya, Azzam akhirnya malah mampu menikahinya (Sinetron Para Pencari Tuhan). Sakit hati dan dendam saya terhadap manejer di tempat kerja luar biasa menguasai hati saya. Belum juga seminggu dia membuang saya, sudah 12 post baru lahir di blog ini, hehehe!

Tapi meski begitu, mampukah saya melupakan sakit hati dan dendam saya terhadapnya? Mustahil. Kasarnya, jika satu saat saya bertemu dan mendapatinya sedang ‘mengemis’ di jalanan, walau Rp1000, - saya ragu mampu menyantuninya. Kalaupun mungkin saya beri, itu juga pasti bukan karena saya telah melupakan perlakuannya terhadap saya. Saya yakin, itu saya lakukan sebagai ‘ejekan’ karena dia telah menghina dan melecehkan saya. Seorang yang pernah dekat secara emosional entah itu karena cinta atau dendam, mustahil bisa untuk dilupakan.  

Lihat, dengan percaya diri mereka berkicau di twitter. Ini sungguh tak wajar dan tak biasa. Betapa banyak kasus penembakan brutal yang dilakukan seorang mahasiswa terhadap rekan2 dan dosennya diakhiri dengan menembak diri mereka sendiri. Wajar, sebab mereka telah menghitung kemampuannya. Mereka hanya berani menembak, tapi pasti tak berani berhadapan dengan hukum.

Pembunuhan itu terjadi karena pasangan ABG itu gagal dalam menguasai dan mengendalikan emosinya. Celakanya, mustahil mereka mampu melupakan apa yang telah mereka lalukan tersebut. Perasaan berdosa, rasa bersalah sebagai pecundang bakal menghantui sisa-sisa hidup mereka. Pertanyaannya, kenapa mereka gagal dalam menguasai emosinya itu?


Solusinya? Hentikan semua tayangan program-program dan sinetron sampah di TV. Dari situlah mereka meneladani betapa ‘biasanya’ perbuatan mereka itu.

*Selamat Pagi (:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Seri Komplotan

Seri Komplotan mungkin serial karya Enid Blyton yang paling tidak populer di Indonesia. Meski cuma terdiri dari 6 judul, tapi inilah karya s...