Halaman

1 Mar 2014

Operasi Buru Durian

Sebagai penggemar durian yang tak memiliki pohonnya sendiri, hobi saya dulu adalah ‘menunggui’ (entah gimana bahasa Indonesia saya tak tahu. Pusing, hahaha…!) durian milik orang lain jatuh dari pohonnya. Tentu saja secara sembunyi-sembunyi agar tak diketahui sipemiliknya, bersama 1 atau 2 orang teman lainnya yang punya hobi yang sama. Biasanya kami beroperasi malam hari, sebab siang hari terlalu banyak saingan, termasuk dari para Ibu-ibu penggemar durian juga, hahaha…!

Menurut saya ini hobi yang aneh. Jika saya suka melakukannya ini masih soal yang bisa dimaklumi, sebab saya memang tak punya pohon durian sendiri. Ada sih pohon durian, tapi itu di kampung nenek yang jauh dari tempat tinggal kami. Tapi bagi yang lain, yang juga punya pohon durian sendiri ternyata banyak juga yang suka melakukan ‘Operasi Buru Durian’ ini, bahkan termasuk Ibu-ibu juga. Bisa dikatakan bahwa ‘menunggui durian orang’ ini sudah membudaya di kampung kami.

Salah satu pohon durian favorit kami adalah milik tetangga teman saya. Saya tak tau persis nama aslinya. Yang pasti kami biasanya memanggilnya Mak Didang. Orangnya tinggi besar, wajah sangar, angker, horror, tapi duriannya enak, hahahaha…!

Duriannya memang manis, tapi tampang pemiliknya masam, apabila durian kesayangannya luput dari pengawasannya. Saya dan dua orang teman sempat mengalaminya langsung betapa horrornya saat kepergok waktu beroperasi di bawah batang duriannya, malam hari. Senter di tangannya mengarah tepat ke wajah salah seorang dari kami. Spontan, Hoaaaaaa….!

Di bawah acungan goloknya kami pontang panting berlarian menyelamatkan diri. Kami bertiga selamat, selain karena malam yang gelap, kami larinya berpencar. Saya dan teman yang ‘disenteri’ (aneh, bahasanya yak…!) langsung kabur dengan lincah karena badan kami memang kecil. Sedang yang satu lagi, gendut, lelet dan lemot selamat karena tanpa bersuara tetap diam di tempatnya, menunggu sepi untuk kemudian ikutan lari juga, hahaha…!

Oooww…ternyata itulah penyebabnya. Kami tak pernah kapok untuk melakukan aksi serupa lagi di kemudian hari. Sebab setiap membayangkan masamnya muka Mak Didang, saat itu juga terbayang betapa manis rasa duriannya. Setiap terlintas horornya malam itu, saat itu juga terlihat betapa asyiknya petualangan itu. Itulah juga sensasi yang pasti dirasakan oleh Valentino Rossi dengan MotoGP-nya. Dia pasti mengerti betapa bahanya ngebut, tapi itulah yang membuat adrenalinnya mengalir kencang. Keberanian menantang mati itulah yang membuatnya jadi idola, hysteria massa, tak peduli betapapun berantakan bentuk rambutnya, hahaha…!

Tegang tapi menantang, itulah juga yang kami rasakan malam itu. Saya sendiri yang paling muda begitu bangga saat berhasil kabur dengan tampang pucat. Ternyata, inilah yang membuat kami ‘hidup’. Jantung kami bekerja, berdetak kencang. Buktinya, setalah kejadian tersebut, petualangan itu malah jadi topic cerita seru yang tak pernah bosan kami ceritakan, berulang-ulang. Sekarang kami bertiga sudah terpisah jauh. Saya di Batam, si Gendut Lelet (wahahaha…bisa kiamat ini kalau dia ikutan baca L) yang usianya sekitar 4 tahun di atas saya sekarang di Jambi. Dan seorang lagi yang masih di kampung, setiap saat dalam kontak telepon selalu menghasut kami untuk beroperasi seperti dulu lagi.

“Durian Mak Didang lagi sexy-sexy nya tuh, Ayoo…mudik”, katanya setiap kali kami kontak via telepon.

Huaaaa…jadi rindu durian, ehhh kampung hahaha…!

*Selamat Bermalam Minggu. Semoga durian ini bias jadi obat galaunya yak, hehe…! Mudah2an bersambung...:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Seri Komplotan

Seri Komplotan mungkin serial karya Enid Blyton yang paling tidak populer di Indonesia. Meski cuma terdiri dari 6 judul, tapi inilah karya s...