Menurut saya ini hobi yang aneh. Jika saya suka melakukannya
ini masih soal yang bisa dimaklumi, sebab saya memang tak punya pohon durian
sendiri. Ada
sih pohon durian, tapi itu di kampung nenek yang jauh dari tempat tinggal kami.
Tapi bagi yang lain, yang juga punya pohon durian sendiri ternyata banyak juga yang
suka melakukan ‘Operasi Buru Durian’ ini, bahkan termasuk Ibu-ibu juga. Bisa
dikatakan bahwa ‘menunggui durian orang’ ini sudah membudaya di kampung kami.
Salah satu pohon durian favorit kami adalah milik tetangga
teman saya. Saya tak tau persis nama aslinya. Yang pasti kami biasanya
memanggilnya Mak Didang. Orangnya tinggi besar, wajah sangar, angker, horror,
tapi duriannya enak, hahahaha…!
Duriannya memang manis, tapi tampang pemiliknya masam,
apabila durian kesayangannya luput dari pengawasannya. Saya dan dua orang teman
sempat mengalaminya langsung betapa horrornya saat kepergok waktu beroperasi di
bawah batang duriannya, malam hari. Senter di tangannya mengarah tepat ke wajah
salah seorang dari kami. Spontan, Hoaaaaaa….!
Di bawah acungan goloknya kami pontang panting berlarian
menyelamatkan diri. Kami bertiga selamat, selain karena malam yang gelap, kami
larinya berpencar. Saya dan teman yang ‘disenteri’ (aneh, bahasanya yak…!)
langsung kabur dengan lincah karena badan kami memang kecil. Sedang yang satu
lagi, gendut, lelet dan lemot selamat karena tanpa bersuara tetap diam di
tempatnya, menunggu sepi untuk kemudian ikutan lari juga, hahaha…!
Oooww…ternyata itulah penyebabnya. Kami tak pernah kapok
untuk melakukan aksi serupa lagi di kemudian hari. Sebab setiap membayangkan
masamnya muka Mak Didang, saat itu juga terbayang betapa manis rasa duriannya.
Setiap terlintas horornya malam itu, saat itu juga terlihat betapa asyiknya
petualangan itu. Itulah juga sensasi yang pasti dirasakan oleh Valentino Rossi
dengan MotoGP-nya. Dia pasti mengerti betapa bahanya ngebut, tapi itulah yang
membuat adrenalinnya mengalir kencang. Keberanian menantang mati itulah yang
membuatnya jadi idola, hysteria massa ,
tak peduli betapapun berantakan bentuk rambutnya, hahaha…!
Tegang tapi menantang, itulah juga yang kami rasakan malam
itu. Saya sendiri yang paling muda begitu bangga saat berhasil kabur dengan
tampang pucat. Ternyata, inilah yang membuat kami ‘hidup’. Jantung kami
bekerja, berdetak kencang. Buktinya, setalah kejadian tersebut, petualangan itu
malah jadi topic cerita seru yang tak pernah bosan kami ceritakan,
berulang-ulang. Sekarang kami bertiga sudah terpisah jauh. Saya di Batam, si
Gendut Lelet (wahahaha…bisa kiamat ini kalau dia ikutan baca L)
yang usianya sekitar 4 tahun di atas saya sekarang di Jambi. Dan seorang lagi
yang masih di kampung, setiap saat dalam kontak telepon selalu menghasut kami
untuk beroperasi seperti dulu lagi.
“Durian Mak Didang lagi sexy-sexy nya tuh, Ayoo…mudik”,
katanya setiap kali kami kontak via telepon.
Huaaaa…jadi rindu durian, ehhh kampung hahaha…!
*Selamat Bermalam Minggu. Semoga durian ini bias jadi
obat galaunya yak, hehe…! Mudah2an bersambung...:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar