Kenapa mesti Jojon yang meninggal? Kenapa tidak para
koruptor saja? Aneka kesusahan dan keruwetan hidup di Indonesia ini
adalah ulah para koruptor yang dengan rakusnya melahap uang negara yang
seharusnya digunakan untuk pembangunan. Apa yang bisa menetramkan rakyat dengan aneka kesulitan hidupnya?
Mestinya adalah masih adanya kemampuan untuk tertawa. Nah itulah yang selama
ini dilakukan oleh para pelawak kita.
Melawak itu profesi mulia, asal lucu. Banyak lawakan yang
gagal lucu, meski itu (mungkin) berdasarkan persepsi saya sendiri.
“Walang Sangit”, kata yang satu.
“Kecoak Bunting”, balas yang satunya lagi.
Di mana sih, letak lucunya? Apa saya yang gagal mengerti? Anehnya
kenapa para penonton bertepuk tangan melihat lawak jenis begituan, termasuk
juga tuh bertepuk tangan melihat sialnya seorang pelawak yang didorong jatuh
dengan sengaja. Makin seru jatuhnya makin gemuruh pula tepuk tangannya. Makin
belepotan mukanya, makin meriah sorakannya. Sungguh, saya gagal paham terhadap
lawakan yang begitu. Ada
yang bisa menjelaskan?
Dan sekarang, tadi pagi Jojon telah kembali menghadapNYA. Di
tengah maraknya jenis lawakan ‘bangke’ Jojon lah satu dari sedikit pelawak yang
tetap konsisten dengan idealisme lawakannya. Sederhana tapi menghibur. Lucu
tapi tak mesum. Ikonik, sebab punya gaya
sendiri. Tak banyak pelawak yang seperti Jojon. Sungguh satu sosok yang layak
diteladani bagi pelawak-pelawak lainnya.
”Dia adalah guru saya”, komentar salah satu pelawak.
Beneran situ ‘murid’nya Jojon? Jangan sembarangan! Menganggap
Jojon sebagai guru mestinya mampu menjaga ilmu lucunya Jojon. Jojon tak pernah
menghina, apalagi sampai mengatai seorang seperti ‘walang sangit’ begitu. Jojon
tak pernah melucu dengan ‘menumbalkan’ teman mainnya. Jojon juga sopan terhadap
wanita lawan mainnya. Menganggap Jojon sebagai guru bagi pelawak-pelawak
seperti itu adalah menghina Jojon, Pahaaam…?
*Selamat Jalan, Senior!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar