Halaman

22 Apr 2014

Presentasi Kemarahan bag.2

Sambungan post kemaren…

Itu adalah buku tersayang saya. Saking sayangnya saya akan ‘melibatkan’ Allah, sholat istiqarah, minta petunjuk bahkan jika Dian yang ingin meminjamnya. Padahal itu Cuma minjam, bukan minta. Dan yang pinjam pun Dian pula. Saya punya 100-an koleksi buku. Sudah banyak yang hilang karena dipinjam teman dan gagal memulangkannya. Tapi jika harus memilih, saya akan pertahankan buku yang satu itu, biarpun yang lain semuanya hilang.

Saya orang baik. Maaf, terpaksa diceritakan. Tinggal bersama 2 orang teman. Yang satu adalah teman yang memang saya ajak tinggal bersama, sedang yang satu lainnya menyusul belakangan. Kasur cuma 2, dan semuanya untuk mereka. Saya sendiri tidur di triplek, hahaha… (:

Nah, teman yang dating belakangan inilah yang alpa, hingga ‘merusak’ buku saya. Buku yang begitu rupa saya jaga hingga bahkan jika seorang Dian pun ingin pinjam saya tak rela. Ehh…jadi tak karuan rupanya gegara kelalaiannya.

Saya meradang. Saya marah. Dan meski dia sudah minta maaf, hati saya sudah keburu hancur. Remuk redam setiap melihat buku itu. Berhari-hari dia saya diamkan. Sebab setiap melihatnya, buku itulah pula yang terbayang melulu. Suatu hari dia pamit, entah mau ke mana. Pamit yang normal saja, seperti biasanya.

“Bang, aku keluar ya sebentar!”, begitu kira-kira redaksinya.

“Pergilah, kau!”, kasar memang jawaban saya sejak kejadian itu.

“Abang keberatan kalau aku tinggal di sini?”, katanya lagi.

“Kalau aku keberatan, , buat apa aku kasih kau kasur, sedang aku sendiri tidur di triplek?”, jawabku masih dalam suasana marah, meski tragedi buku itu sudah seminggu lebih berlalu.

Hening sejenak. Suasana sungguh terasa kaku. Demi mencairkan ketegangan diambilnya sapu dan mulai menyapu. Formalitas saja, sebab memang lantai ‘sedang’ tak begitu kotor.

“Jadi abang ingin pakai kasur?”, tanyanya tiba-tiba…

Tuh, kan….????

21 Apr 2014

Presentasi Kemarahan bag.1

Saya ini anak Pisces, HAAAAH…?!!?!?!?! Konon kabarnya, pintar (: Asmara: berjodoh dengan Gemini yang profesinya guru. Namanya Dian, wkwkwk…!

Oke, cukup ngawurnya. Belakangan ini saya sedang punya masalah dengan namanya marah. Bukan marah yang mudah dikendalikan, sebab marah yang ini cukup menantang dan menyebalkan. Saya lebih suka jenis marah yang praktis-praktis saja, misalnya tonjok langsung tanpa ba bi atau bu. Tapi karena saya orangnya lemah lembut (cieeeh…cieeehhh…), saya lebih suka marah dengan gaya yang lain. Tentu saja tetap praktis. Misalnya, memaki dengan kata yang kasar. Ringkas saja. Cukup maki dengan kata-kata jorok yang tak perlu lah pula saya tuliskan, bukan? Tapi karena saya orangnya juga sopan, maka saya pun memaki dengan kreatif, tanpa kata-kata jorok. Misalnya saat saya memaki manejer saya yang gila itu.

“Tak jentel, Kau”, saya memaki sambil menunjuk-nunjuk ke arah jidatnya.

Praktis, tapi tetap sopan, kan? Praktis, karena cuma itulah makian yang saya semburkan. Sopan, karena meski nadanya kasar tapi tak ada kata-kata jorok yang saya keluarkan. Terhadap manejer yang telah melecehkan saya itu saya bias memperjuangkan hargadiri tanpa perlu kehilangan control diri.

Saya memang lebih kuasa bersabar terhadap kejahatan ketimbang bersabar terhadap kebodohan. Karena bahkan untuk marah terhadap yang bodoh kita juga mesti sabar. Inilah jenis marah yang paling menantang dan sungguh sulit saya taklukkan. Marah terhadap yang bodoh itu butuh kemampuan ekstra. Sambil marah kita juga butuh sabar. Sabar dalam mempresentasikan kemarahan kita. Tak bisa praktis seperti biasanya. Marahnya mesti lengkap. Kemarahan itu harus disertai dengan penjelasan yang detil. Dalam situasi marah, kita juga butuh kesabaran dalam menjelaskan kemarahan kita. Dan belakangan ini sudah beberapa kali saya alami. Terakhir saya juga pernah posting cerita kemarahan saya terhadap seorang teman yang (maaf) bodoh. Masalah buku, sudah pernah baca kan? Itu adalah kemarahan yang gagal saya taklukkan karena kebodohannya. Bicara bodoh yang mestinya tak penting. Sudah bodoh bicara tak penting pula. Sudah tak penting, ngotot pula.

Saya harap itu adalah marah saya yang terakhir. Tapi lacur, berulang lagi. Jika kemaren soal buku, yang sekarang juga soal buku lagi, hahaha…! Jika kemaren teman sekerja, sekarang terhadap teman serumah. Sudah begitu, sama-sama bodoh pula. Sekali lagi Maaf, bagi yang kurang berkenan atas pilihan kata saya. MAAF YAA, Pembaca…!

Saya sudah capek. Saya sudah buang waktu dan energi demi kemarahan saya. Saya langgar kebiasaan gaya marah saya yang praktis itu. Sambil marah saya jelaskan kemarahan saya dengan sabar. Begimana tuh, caranya? Wkwkwkwk….! Cobalah pembaca bayangkan bagaimana sakitnya marah terhadap orang yang tak paham substansi kemarahan kita. Itulah yang saya alami dengan teman serumah saya itu.

Urut-urutannya begini…

Dia baca, ketiduran dan hujan. Jendela yang lupa ditutup membuat air hujan merembes masuk. Permukaan lantai yang mengkondisikan air tergenang membuat buku kesayangan saya terendam, covernya copot dan bagian halaman isi keriting karena basah. Kisahnya lanjut di post berikutnya saja, yaaaa…..!

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...