Halaman

30 Agu 2014

Dunia Itu Sedekat Bulu Hidung

Beberapa waktu lalu pernah saya ceritakan bahwa setelah ‘dipecat’, hubungan saya dengan perusahaan tersebut akan berakhir. Itu sekaligus bermakna bahwa saya takkan pernah melihat rumah Dian lagi, wahahaha…! Tapi kenyataannya 3 bulan kemudian, ternyata seorang teman kerja di sana justru malah menikah dengan adik sepupu saya sendiri. Dan yang lebih ajaib lagi, teman itu adalah justru ‘guru pembimbing’ Dian saat dulu magang di sana, hahaha…!

Dunia yang kita anggap begitu besarnya ternyata sempit saja jika Tuhan sudah berkehendak. Seperti bulu idung yang saking dekatnya malah sering tak kita sadari keberadaannya. Saya sungguh sering mengalami kisah-kisah ajaib sejenis. Jauh-jauh saya melanjutkan sekolah SMKN 1 di Batam, ternyata salah seorang gurunya adalah tetangga dekat saya di kampung. Jika perusahaan lama tempat saya bekerja itu adalah rumah saya, rumah Dian adalah rumah guru tersebut. Begitu dekatnya. Bahkan adik perempuan satu-satunya juga adalah teman sekelas saya sejak SD sampai SMP, Subhanallah….!

Tamat sekolah saya tinggal di daerah Bengkong, di rumah seorang teman sekelas. Lama, hampir 8 tahun saya tinggal di sana, bekerja ikut orangtuanya. Jadi bisa bayangkan betapa dekatnya hubungan kami. Ayahnya, ibunya dan seorang adik ceweknya. Selama di sana saya punya begitu banyak tetangga, teman yang bahkan sudah seperti seorang saudara sendiri. Salah satunya bernama Amoy.

Sari nama sebenarnya. Tak jelas juga kenapa dipanggil Amoy. Karena putih mirip China kali yak? Dan cantik juga sih, hahaha…! Saat saya tamat sekolah, waktu itu dia baru sekitar kelas 2 atau 3 MTs. Ini anak degil bukan main, hahaha…! (Awas, siapa saja yang kenal jangan sampai dia ikut baca post ini. Dia bisa ngamuk, hahaha…!) Setiap saat sering minta tolong sama kami, termasuk saya tentunya.

“Bang, tandatangan donk!”

“Apaan?”

“Surat ijin sakit, buat guru di sekolah”, katanya sambil nyengir, seperti biasanya.

Tapi yang paling parah adalah setiap dia bolos dari rumah, hahaha…! Maksudnya: kabur entah kemana sama cowoknya, dia selalu bawa-bawa nama saya.

“Maa…! Amoy pergi ke rumah Bang Raul yaaa!”, katanya pamit sama mamanya.

Ohya, saya waktu itu juga sering tinggal di Kampung Seraya. Saya juga punya saudara angkat di sana. Nah, tempat itulah yang dimaksudnya. Tak jarang saat saya di Bengkong, ibunya tanya,

“Amoy mana? Katanya tadi ke rumahmu?” Tanya ibunya.

Waah, sialan si Amoy…. J

Nah, kira-kira begitulah dekat hubungan kami. Sampai kemudian akhir 2007, saya punya konflik dengan ayah si teman, sampai sekarang L Meski masih akrab dan berhubungan baik dengan yang lainnya, saya tak pernah lagi tinggal di rumah itu. Main sih masih sering, tapi nginap sudah tak pernah.

Tapi sekitar 2010, saat Facebook lagi booming-nya saya mengalami kejadian ajaib lagi. Saya chat dengan seorang teman sekelas MTs di kampung dulu. Cewek juga, donk! Hahaha…! Tanya kabar, sekarang tinggal di mana, dan…

“Aku dulu lanjut STM di Batam. Dan sampai sekarang tinggal di Batam”

“Batam di mananya?”

“Bengkong, tau?”

“Bengkong mana?”

“Bengkong Harapan. Kenapa?”

“Kenal Sari ga? Saya punya sepupu di situ. SD dulu saya juga di situ!”

“Sari? Amoy, ya?”

“Iyaa…!”

“Yaa, kenal donk! Anaknya degil ya? Hahaha…!”

“Hahaha…!

Chat kami berlangsung amat panjang akhirnya. Ternyata dia penasaran saat melihat status Facebook saya di komen si Amoy. Ternyata teman sekelas saya di Batam itu juga adalah teman SD-nya dulu, saat di Batam. Teman nongkrong saya sekarang adalah teman mainnya saat kecil dulu. Saya sekelas dengannya dulu saat masih di kampung, walau tak akrab. Ajaibnya, teman akrab saya di Batam malah sepupu, teman SD dan main-mainnya dulu saat dia masih di Batam.

Subhanallah….! Allahu Akbar…!

*Bagi teman-teman yang punya kisah sejenis, monggo, di share… J

Di-bully Keponakan




“Ihh…bau!”, katanya setiap kali saya lewat sambil menenteng-nenteng kaleng cat.

Saya tercekat. Tersinggung, marah dan malu sekaligus. Tersinggung tentu karena saya dianggap bau. Marah, karena yang mengatakannya adalah keponakan saya sendiri yang masih 4 tahunan, bersama dua orang rekannya yang lain yang masih TK. Malu, karena kejadian itu dilihat pula oleh seorang cewek yang masih muda dan cantik pula, yang kebetulan juga sedang ada di situ.

Saking marahnya, ingin rasanya saya menampar kanak-kanak sialan itu. Tapi saya urungkan. Buat apa repot-repot menampar jika dengan saya melotot saja sebenarnya sudah bisa buat mereka menjerit-jerit horror.

“Dasar anak-anak kurang ajar!”, begitu saja akhirnya saya mengomel.

Tapi tiba-tiba saya berpikir, benarkah mereka anak-anak yang kurang ajar? Keponakan saya itu ibunya Kepala Sekolah, yakni kakak sepupu saya sendiri. Paman, tante, kakek dan neneknya juga banyak yang jadi guru. Tinggalnya juga dalam lingkungan sekolah. Sedang dua temannya itu juga masih TK, murid sepupu saya itu tadi. Tak mungkin mereka kurang ajar. Yang benar malah mereka memang belum diajar, hahaha…!

Lalu, apakah dengan diajar mereka jadi tidak kurang ajar? Saya justru meragukannya, sebab dunia pendidikan kita biasanya malah mengajarkan sebaliknya. Bisa jadi mereka makin kurang ajar justru karena telah diajarkan… untuk tidak jujur. Ini point-nya.

Orang-orang dewasa justru mestinya sering belajar  soal kejujuran kepada kanak-kanak yang dunianya masih polos dari beragam konflik kepentingan. Ejekan yang saya terima itu pasti jujur keluar dari hati nurani mereka yang sebenarnya. Menyakitkan memang, tapi tentu begitulah memang kenyataannya.

“Waah, anak-anak ini mesti dijaga. Mereka adalah asset”, pikir saya.

Mereka anak-anak yang jujur. Sudah begitu berani pula. Imajinasi saya melayang makin jauh. Andai saja teman-temannya lebih banyak mereka tentu makin berani memperolok-olok saya.

“Sudah jelek, bau pula!”, begitu mungkin ditimpali teman-temannya.

“Jelek, bau dan jomblo juga!”, sahut temannya yang lain, dan sudah terbayang pula oleh saya gelak dan sorak tawa mereka.

Bersama orangtua kita jadi kuat, bersama teman kita jadi hebat dan bersama pacar kita jadi nekat, hahaha…!

Anak jujur lagi berani berkumpul bersama teman-temannya yang juga jujur dan berani pula? Waah, betapa hebat Indonesia berikutnya di tangan mereka. Mereka-mereka inilah yang mesti kita jaga. Sayangnya, tak jarang dunia pendidikan kita malah mengarahkan ke yang sebaliknya.

“Jika bertemu pengemis, bagaimana tindakan kamu?”.

A.   Memberi uang
B.   Tidak memberi
C.   Menolak secara halus.
D.   Menghardik dan mengusir
E.   Pura-pura tidak tahu.

Pertanyaan sejenis melulu kita jumpai mulai dari soal-soal kenaikan kelas, ujian tingkat SD, SMP, SMA, ujian masuk Perguruan Tinggi dan bahkan sampai kepada soal-soal test ujian bagi calon PNS. Jika kamu memilih jawaban A, maka kamu benar. Kamu lulus. Tapi meski lulus, kan belum tentu jujur. Bagaimana misalnya jika saat itu kamu sedang tak punya uang?

Orientasi pendidikan kita lebih kepada tampilan ketimbang isi. Terlihat mulia lebih dianjurkan ketimbang bersikap jujur. Lebih penting menjaga image ketimbang prilaku. Tak heran ketika akhirnya kita lebih beriman kepada pencitraan ketimbang percaya kepada kenyataan. Banyak pejabat yang suka menyumbang demi citra, padahal sumbangan itu menggunakan uang hasil korupsinya.

Tuhan itu Maha Baik. Hanya menerima yang baik-baik, melalui cara yang juga baik. Jalanan, gedung-gedung dan segala lainnya yang dibangun dari hasil korupsi takkan bawa berkah bagi penggunanya. Itulah jalan yang akhirnya jadi biang kemacetan dan rawan kecelakaan. Gedung-gedung bangunan yang merusak tata kota dan lingkungan. Jembatan dan rel kereta api yang baut-bautnya melulu dipreteli pencuri.

Jadi, terhadap kanak-kanak itu akhirnya saya cuma berharap dan berdoa semoga besok-besok saya masih tabah jika di-bully nya lagi, hahaha….!

*Sialan… ):
 

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...