Halaman

25 Okt 2014

PHP

Dialog imajinatif saya dan Dian, beberapa waktu nanti, haha...!

“Abang mesti ngaca, Bang! Lihat juga bulu hidung abang sendiri!”

“Maksudnya?

“Bulu di hidung orang lain nampak, bulu di hidung sendiri tak kelihatan. Kan abang yang sering ngomong gituan. Abang mestinya praktekkan juga apa yang suka abang tulis itu. Penulis mesti bertanggungjawab terhadap apa yang ditulisnya, kan?”

“Pinteeeer! Dah nular nih, kepintaran abang sama Dian. Tapi maksud Dian apa? Abang ga ngerti?”

“Bukan Dian aja yang PHP. Abang juga!” 

“Maksudnya?”

“Abang juga pernah janji sama Dian, kan? Dan tak abang tepati”
 
“Janji apaan?”
 
“Janji abang mau ngasih Dian pesawat”
 
“Pesawat?”
 
“Iya”
 
“Kapan pula abang janji kasih Dian pesawat. Jangankan pesawat betulan, yang mainan aja abang ga sanggup beli buat Dian. Kan abang lagi nganggur sekarang?
 
“Jadi yang katanya mau ngasih pesawat MH370 itu apa? Bukan janji?”
 
“Ooo… yang itu!”
 
“Iya”
 
“Lah, pesawatnya kan belum ditemukan juga sampai sekarang?”
 
“Tapi abang kan udah janji mau ngasih ke Dian?”
 
“Walau cuma rongsokannya?”
 
“Ya, walau cuma rongsokannya”
 
“Ya deh. Nanti abang usahakan lagi mencarinya”
 
“Makanya, jangan cuma nuduh Dian yang suka ingkar janji!”
 
“Tapi Dian kan tau itu janji abang itu cuma gombal aja. Mana mungkin abang bisa temukan itu pesawat, kan?”
 
“Oke. Tapi janji yang lebih realistis sama Dian juga ga abang tepati?
 
“Janji yang mana lagi?”
 
“Ingat abang dulu juga janji akan beri Dian kado ulang tahun. Abang mau traktir Dian ke Brasil nonton final Piala Dunia antara Brasil dan Belanda. Abang juga harap Belanda yang menang. Dian amini doa abang dan Belanda akhirnya menang 3-0 kan?”
 
“Lho, yang final kan Jerman vs Argentina? Otomatis janji abang batal, donk!”
 
“Final perebutan tempat ke-3 siapa lawan siapa?”
 
“Brasil lawan Belanda. Tapi itu kan cuma final merebut tempat ke-3?”
 
“Tapi kan final juga”
 
“Lagian pemain favorit abang kan ga ikut ke Brasil karena cedera”
 
“Siapa?”
 
“Rafael Van Der Vaart”
 
“Tapi kan itu ga ada dalam point perjanjian abang?”
 
“Yaa… percuma, donk! Abang nonton bola kalo pemain idola ga main suka ngantuk, ketiduran. Jadi mubazir, kan? Jauh-jauh ke Brasil cuma untuk tidur?
 
“Jadi abang lebih suka ke Brasil karena laki-laki bule itu ketimbang Dian? Kalau gitu yaa udah. Aku tak mau mengenalmu lagi. BYE…!”
 
“Lho…lho… Diaaaaaan….!”

*Tamat. Begitulah ceritanya kenapa Dian saya pergi, hahaha.... *Nangis

Saya Masih Hidup

Sejak ‘ditinggal’ Dian saya benar-benar merasa tak berarti lagi. Saya merasa putus asa. Bahkan Dian saja sudah menganggap saya tak pernah ada. Tapi Allah melarang hambaNYA berputus asa. DIA segera menegur saya. Ada saja caranya untuk mengingatkan saya.

Sore, jam 5 minus beberapa menit kemaren saya sudah bingung hendak kemana. Bensin di motor cuma mampu untuk pergi dan tak mungkin untuk kembali. Selagi asyik melamun di atas motor, tiba-tiba handphone berbunyi. Merdu bunyinya. Mestinya dari seorang teman cewek tentunya, hahaha…! Dan benar saja, seorang teman sekolah dulu. Tumben, ini anak nelpon saya?

Teman biasa saja. Di sekolah dulu juga kami tak sekelas. Beda jurusan malah. Ketemu dengannya juga tak sering. Paling sejak kami tamat sekolah, belum sampai habis jumlah jari untuk menghitung kuantitas pertemuan kami. Itupun juga cuma di event pertemuan bulanan yang baru setahunan setengah terakhir rutin kami para alumni adakan. Itupun juga sudah sekitar 8 bulan tidak saya hadiri karena kesibukan Pemilu dan kegiatan saya sebagai pengurus tetap Komunitas Pemirsa Halo Selebriti Cabang Kota Batam, hahaha….! Dia dapat tahu nomor saya juga mungkin dari list contact yang memang sengaja kami buat demi kelancaran komunikasi untuk event tersebut. Dian tenang saja (PENTING)! Dia sudah punya suami kok. Udah banyak anak malahan J Lakinya malah orang kapal pula (?) Dan yang pasti, paling tidak di matanya saya tentu kalah keren segalanya dibanding suaminya, hahaha….!

Bunyi handphone merdu, tampilan displaynya menarik. Penelponnya cantik, setidaknya sekitar 15 atau 10 tahun yang lalu, hahaha…! Suaranya menggoda, tapi maksudnya? Nah ini yang buat saya nelangsa (awalnya).

“Raul, kau di mana?”

Asssyiiiik….! Dia pengen tau kabar saya nih! *Ge-eR.

“Aku mau minta tolong boleh ga?”

“Boleh! BOLEH BANGET!”

“Aku lagi butuh duit nih. Ga banyak, kok! 5 juta aja. Adikku masuk rumah sakit. Mau melahirkan. Tadinya mau lahiran normal. Tak tahunya, ternyata butuh operasi. Tenang aja! Aku bayar kok. Cicil 2X bayar. Dua setengah-dua setengah. Bisa ga?”
GLEEEEECK….!

Jujur, tentu saja saya tak bisa bantu (langsung). Lah, untuk isi bensin motor saja saya bingung. Tapi yang membuat saya gembira adalah: ternyata ada orang lain, asing, masih menganggap saya ada. Ini sangat penting bagi kepercayaan diri saya yang sedang terperosok di titik nadir.

Walau Dian menganggap saya sudah tiada, tapi Allah tidak. Allah SWT sangat mencintai dan percaya terhadap saya. Kenapa ‘orang asing’ itu bisa mengingat saya kalau bukan DIA yang menggerakkan hatinya untuk menghubungi saya. Saya bangga, Allah SWT ternyata begitu percaya kalau saya adalah orang yang tepat untuk membantunya.

Kepercayaan itu mandat. Mendapat mandat dari Allah? Tak semua orang bisa mendapat anugerah begitu rupa. Apalagi mandat dari Allah pula? Betapa kecewa dan marahnya Koalisi Indonesia Hebat tak dipercaya memegang jabatan apapun di lembaga DPR dan MPR menjelaskan betapa berharganya sebuah kepercayaan. Saat para politisi itu berebut mandat dari rakyat, saya justru diberi mandat langsung oleh Allah. Betapa bahagianya saya. Betapa beruntungnya saya. Nikmat apalagi yang mesti saya ingkari? Saya gembira. SANGAT GEMBIRA.

Kegembiraan yang begitu luar biasa membuat saya alpa mengkalkulasi kemampuan saya. Tanpa sadar saya sudah sedang dalam perjalanan. Sampai ketika di suatu tempat laju motor saya mengisyaratkan gejala yang buruk. Dan belum sempat saya bereaksi, motor itu sudah berinisiatif duluan, mati. Motor  kehabisan bensin, dan saya bingung mesti berbuat apa.

Saya sendiri sedang butuh pertolongan, teman…..! hiiiiiks…. L

Bagaimana cara saya menolong si teman? Wallahualam. Begitu gagal memberikan bantuan langsung, saya sms, minta maaf sambil memberi satu nomor yang mudah2an saja bisa membantunya, aamiin…!

Itulah daya terakhir dari pulsa handphone saya. Pulsa saya tak cukup berdaya lagi untuk balas menelponnya. Meski sebenarnya saya sangat ingin dan merasa penting untuk melakukannya, sebab di sms tersebut saya lupa mengucapkan terima kasih karena disadarinya atau tidak, tindakannya menghubungi saya itu sangat berarti bagi saya. Lagipula salah satu kebiasaan saya adalah telpon dibalas telpon. Itu sudah prinsip saya demi menghormati orang yang sudah menelpon saya duluan. Pun begitu dengan sms. Saya usahakan saya adalah pihak yang terakhir menutup komunikasi via sms.

Persoalannya, sisa pulsa saya sekarang cuma Rp 107,- J Beberapa saat setelah sms tersebut saya kirimkan, Telkomsel memang menawarkan saya kesempatan untuk mendapatkan ratusan sms gratis. Sayangnya saya tak mungkin mengambilnya, sebab katanya ada syaratnya. Dan syaratnya itu terlalu berat untuk saya penuhi. Saya mesti mengirimkan 5/6 sms berbayar lagi, hihihi…!

Jadi, memang sebatas itulah cuma daya saya untuk membantunya. Tapi saya yakin, manuver saya akan berarti dan punya makna. Kalaupun saya tak bisa bantu langsung, mudah2an nomor yang saya kirimkan itulah solusinya. Kalaupun ternyata tidak, saya yakin, pemilik nomor yang saya rekomendasikan tersebut tentu juga akan digerakkan Allah hatinya untuk membantu pula. Mungkin dengan cara yang sama atau dengan banyak cara lainnya. Karena Allah SWT selalu punya cara untuk hamba-hambaNYA, aamiin…!

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...