Seorang teman update status yang
kira2 intinya berharap, agar kenaikan BBM juga diikuti dengan naiknya harga
rokok. Lebih jauh lagi harapannya tentu agar orang-orang berhenti merokok.
Saya memang merokok dan juga
ingin berhenti merokok. Walau ingin berhenti, nyatanya sampai saat ini saya
masih merokok. Tak mampu saya prediksi kapan saya bisa menghentikannya. Mungkin
cuma terwujud jika Dian yang minta. Itupun mungkin butuh sambil mengancam
saya, hahaha….! *galau maning.
Tapi sekitar sebulan yang lalu
saya sempat berdiskusi SERIUS dengan seorang teman yang juga perokok. Sambil
merokok kami membahas, kenapa rokok tak bisa dibasmi, setidaknya di Indonesia.
Kesimpulan diskusi kami ternyata sungguh mencengangkan. Diskusi tak biasa
antara 2 sahabat yang awam agama ternyata mampu menjangkau hikmah2 mendalam
soal rokok, hahaha…!
Rokok tak bisa dibasmi karena dia
‘menghidupkan’. Sulit kan, memahaminya? Yaa… karena memang disukusi kami sekali
ini sungguh tak biasa. Pabrik rokok tak mungkin ditutup karena dia telah ‘menghidupkan’
banyak nyawa selama ini. Betapa banyak karyawan pabrik itu yang muslim?
Keluarganya. Belum lagi, rokok adalah property utama para pedagang kaki lima.
Penjual pampers, shampoo, sabun, pisau silet, pena dan lain2 butuh rokok
sebagai identitas warungnya.
Kami tidak bicara dan membela
para perokok dan pabriknya. Keuntungan besar dari penjualan rokok tentu bukan
bagi karyawan atau pihak terkait lainnya. Profit terbesar dan yang besar tentu
dimiliki oleh para pemilik pabrik, distributor dan pengusaha2 terkait dengannya
yang rata2 non muslim. Bagi mereka tentu saja untung besar, walau tentu tidak
berkah.
Lain halnya dengan karyawan,
keluarga dan pengusaha2 kecil rokok yang muslim. Rokok adalah ‘berkah’ dari
usaha mereka dalam memperjuangkan hidup. Harap diingat juga, walau masih
kontroversi, tapi sampai saat ini belum ada seorangpun ulama yang 100% berani
mengharamkan rokok. Padahal sudah tugas ulama untuk beristijma’ soal-soal yang
menyangkut umat, kan?
Saat dulu Ajinomoto diminta tutup
karena komposisi ramuannya mengandung minyak babi, ulama besar sekelas
Zainuddin MZ saja tak mengamininya. Revisi ramuaanya, tanpa perlu menutup
pabriknya. Bakal banyak pengangguran jika pabriknya ditutup, serta efek2 domino
lainnya. Padahal sudah jelas dan tegas unsur haram yang termuat di dalamnya.
Islam itu agama yang hikmah.
Butuh tinjauan lebih jauh dan mendalam untuk menemukannya. Islam agama social, bukan agama yang tertutup. Itulah kenapa jenis
usaha terbaik yang dianjurkan Islam adalah berdagang. Sebab di dalamnya ada
proses sosial, transaksi jual beli yang saling menghidupkan.
Islam agama yang fair. Karena
itu, walau bukan negara Islam, kita malah diperintahkan untuk belajar sampai ke
negeri Cina, sebab memang merekalah ‘guru’ yang tepat untuk berdagang.
Islam adalah agama yang rahmatal
lilalamiin. Rahmat, tidak saja bagi manusia, tapi juga bagi alam seutuhnya.
Perusahaan2 raksasa di dunia, Indonesia dan juga di banyak Negara Muslim
lainnya rata2 dikuasai oleh pihak non muslim, walau pekerjanya muslim. Usaha
mereka, maju, bertahan dan berkembang karena itu ‘menghidupkan’ banyak umat
muslim sebagai karyawannya.
Allah Tuhan semesta Alam. Allah
Maha Adil terhadap semua makhluknya. Jadi, tak peduli Islam atau bukan, rejekiNYA
selalu akan tercurah bagi siapa saja. Jadi soal pabrik rokok dan sejenisnya itu
cuma soal berkah dan tidaknya usaha manusia dalam memperjuangkan hidupnya. Ada
yang usahanya diberkahi Tuhan dan ada juga yang tidak. Itu soal hikmah. Dan
bicara soal hikmah memang butuh kajian yang mendalam. Apakah usaha kaki lima
kita jadi usaha yang berkah karena di dalamnya juga ikut menjual rokok? Apakah
pakaian yang kita pakai berkah, sebab diproduksi di negara2 Barat, yang lalu
lintas ekspor-impornya bisa saja diselingi dengan aneka transaksi korupsi? Wallahualam….!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar