Halaman

18 Mar 2015

Tak Semua Gatal Butuh Digaruk

Budaya ikut-ikutan adalah persoalan utama bagi sebuah kemajuan. Bagaimana mungkin jadi yang terdepan, jika melulu masih jadi pihak yang ikut-ikutan. Padahal sudah pasti bahwa yang yang ikut itu tempatnya di belakang, tidak di depan. Jadi jika masih suka ikut-ikutan, tak perlu berharap jadi yang terdepan.

Budaya ikut-ikutan terjadi karena satu hal: ketidaktahuan. Ketidaktahuan terjadi karena kebodohan. Jadi akar dari persoalan sebuah kehendak untuk maju adalah faktor kebodohan.
Kaka Slank itu pengemarnya banyak. Acara konser bergenre apa saja selalu dimeriahkan dengan bendera dan atribut para Slankers. Tapi karena kebodohannya, akhirnya disomasi, kan?

Banyak pengikut, tapi masih suka ikut-ikutan. Betapa bodohnya orang ini. Padahal sedari awal saya sudah ingatkan. Jangan ikut-ikutan ‪#‎SaveHajiLulung‬. Andai saja saat itu dia baca status Facebook saya, hehehe….!

Biasakanlah berpikir beda, agar tercipta proses dan hasil yang juga berbeda. 2 hari #SaveHajiLulung merajai dunia Twitter menegaskan betapa budaya ikut-ikutan bangsa kita terlalu sulit untuk dikendalikan. Satu acara TV buat acara lawak saling hina, tipi-tipi lainnya ikutan. Tipi ini temukan spesies masa depan: serigala yang ganteng, tipi lainnya tak mau kalah. Maka mereka tidak saja telah berhasil menemukan Kambing yang genit, tapi juga ada Monyet yang cantik, hahaha….!

Jurnalis, kalangan yang kita anggap lebih terdidik dan terpelajar juga tak kalah bodohnya. Tanpa berpikir akan mempermalukan bangsa, mereka berlomba siarkan antrian panjang masyarkat antri BBM, demi menghemat seribu dua ribu saja, saat harga BBM dinaikkan. Ada yang beritakan seorang warga dipenjara karena nge-charge HP tanpa ijin, tipi-tipi lain ikut-ikutan menyiarkannya pula. Ada yang mati saat antri zakat, pingsan dalam antrian pengambilan BLT dan kasus-kasus remeh namun memalukan lainnya tetap saja jadi properti siaran mereka, tak peduli nama baik bangsa jadi taruhannya. Apa jadinya bila bangsa lain melihat berita-berita memalukan begitu?

Wartawan, jurnalis itu orang kuliahan semua. Mereka sudah terlatih membaca, analisa dan mengolah data. Mestinya mereka sudah terbiasa pula untuk berpikir beda, bukan? Mestinya merekalah jadi pihak terdepan, jauh dari budaya ikut-ikutan.

Tapi memang beginilah faktanya. Mahasiswa, generasi Halo Selebriti yang tak pernah lagi belajar PMP dan PPKN, karena sudah dihapus, kan? Tak mengerti aturan, hukum maupun UU. Tak tahu apa beda dan tugas-tugasnya eksekutif dan legislatif. Dalam ketidaktahuan itulah mereka jadi sok tahu, sebab gengsi menuntutnya begitu. Karena itulah pula mereka lebih suka tampil di tipi, memberi tepukan aplaus terhadap lawakan-lawakan salinghina dan aniaya, ketimbang mengkritisi, kenapa anggaran rutin dari negera untuk MUI distop pemerintahan Jokowi. Kenapa negara mesti mengeluarkan biaya ratusan juta tiap bulan bagi orang-orang yang tidak bekerja seperti di Lembaga Sensor dan KPI. 

Mereka pulalah yang akhirnya ikut-ikutan Save KPK, Sav Ahok padahal tak paham aturan, hukum dan UU. Itu bodoh. Bully Menteri Tejo, Hakim Sarpin, Haji Lulung tanpa tahu inti persoalannya. Itu bodoh. Sama dengan bodohnya buruh yang ikut-ikutan demo, anarkis, tanpa membayangkan sama sekali ademnya suasana dalam ruang perundingan antara wakil-wakil mereka, dan pihak pengusaha.

Kaka Slank, walau saya tak mengerti pendidikannya, mestinya usia , lingkungan pergaulan dan pengalaman hidup telah banyak mengajarkannya kebijaksanaan. Berpikir sebelum bertindak. Sebab tak semua gatal butuh digaruk, hahaha…!

*Tuh, kan! Gatal garuk lagi, hahaha…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Seri Komplotan

Seri Komplotan mungkin serial karya Enid Blyton yang paling tidak populer di Indonesia. Meski cuma terdiri dari 6 judul, tapi inilah karya s...