Budaya ikut-ikutan adalah persoalan utama bagi sebuah kemajuan.
Bagaimana mungkin jadi yang terdepan, jika melulu masih jadi pihak yang
ikut-ikutan. Padahal sudah pasti bahwa yang yang ikut itu tempatnya di
belakang, tidak di depan. Jadi jika masih suka ikut-ikutan, tak perlu
berharap jadi yang terdepan.
Budaya ikut-ikutan terjadi karena
satu hal: ketidaktahuan. Ketidaktahuan terjadi karena kebodohan. Jadi
akar dari persoalan sebuah kehendak untuk maju adalah faktor kebodohan.
Kaka Slank itu pengemarnya banyak. Acara konser bergenre apa saja
selalu dimeriahkan dengan bendera dan atribut para Slankers. Tapi karena
kebodohannya, akhirnya disomasi, kan?
Banyak pengikut, tapi
masih suka ikut-ikutan. Betapa bodohnya orang ini. Padahal sedari awal
saya sudah ingatkan. Jangan ikut-ikutan #SaveHajiLulung. Andai saja saat itu dia baca status Facebook saya, hehehe….!
Biasakanlah berpikir beda, agar tercipta proses dan hasil yang juga
berbeda. 2 hari #SaveHajiLulung merajai dunia Twitter menegaskan betapa
budaya ikut-ikutan bangsa kita terlalu sulit untuk dikendalikan. Satu
acara TV buat acara lawak saling hina, tipi-tipi lainnya ikutan. Tipi
ini temukan spesies masa depan: serigala yang ganteng, tipi lainnya tak
mau kalah. Maka mereka tidak saja telah berhasil menemukan Kambing yang
genit, tapi juga ada Monyet yang cantik, hahaha….!
Jurnalis,
kalangan yang kita anggap lebih terdidik dan terpelajar juga tak kalah
bodohnya. Tanpa berpikir akan mempermalukan bangsa, mereka berlomba
siarkan antrian panjang masyarkat antri BBM, demi menghemat seribu dua
ribu saja, saat harga BBM dinaikkan. Ada yang beritakan seorang warga
dipenjara karena nge-charge HP tanpa ijin, tipi-tipi lain ikut-ikutan
menyiarkannya pula. Ada yang mati saat antri zakat, pingsan dalam
antrian pengambilan BLT dan kasus-kasus remeh namun memalukan lainnya
tetap saja jadi properti siaran mereka, tak peduli nama baik bangsa jadi
taruhannya. Apa jadinya bila bangsa lain melihat berita-berita
memalukan begitu?
Wartawan, jurnalis itu orang kuliahan semua.
Mereka sudah terlatih membaca, analisa dan mengolah data. Mestinya
mereka sudah terbiasa pula untuk berpikir beda, bukan? Mestinya
merekalah jadi pihak terdepan, jauh dari budaya ikut-ikutan.
Tapi
memang beginilah faktanya. Mahasiswa, generasi Halo Selebriti yang tak
pernah lagi belajar PMP dan PPKN, karena sudah dihapus, kan? Tak
mengerti aturan, hukum maupun UU. Tak tahu apa beda dan tugas-tugasnya
eksekutif dan legislatif. Dalam ketidaktahuan itulah mereka jadi sok
tahu, sebab gengsi menuntutnya begitu. Karena itulah pula mereka lebih
suka tampil di tipi, memberi tepukan aplaus terhadap lawakan-lawakan
salinghina dan aniaya, ketimbang mengkritisi, kenapa anggaran rutin dari
negera untuk MUI distop pemerintahan Jokowi. Kenapa negara mesti
mengeluarkan biaya ratusan juta tiap bulan bagi orang-orang yang tidak
bekerja seperti di Lembaga Sensor dan KPI.
Mereka pulalah yang
akhirnya ikut-ikutan Save KPK, Sav Ahok padahal tak paham aturan, hukum
dan UU. Itu bodoh. Bully Menteri Tejo, Hakim Sarpin, Haji Lulung tanpa
tahu inti persoalannya. Itu bodoh. Sama dengan bodohnya buruh yang
ikut-ikutan demo, anarkis, tanpa membayangkan sama sekali ademnya
suasana dalam ruang perundingan antara wakil-wakil mereka, dan pihak
pengusaha.
Kaka Slank, walau saya tak mengerti pendidikannya,
mestinya usia , lingkungan pergaulan dan pengalaman hidup telah banyak
mengajarkannya kebijaksanaan. Berpikir sebelum bertindak. Sebab tak
semua gatal butuh digaruk, hahaha…!
*Tuh, kan! Gatal garuk lagi, hahaha…!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar