Halaman

28 Okt 2015

Napoleon Jomblo (Lagi)

Hai pemuda Indonesia,
Bangkitlah kau semua!
Negeri kita sudah merdeka,
Genderang perang sudah berbunyi.
Dengarkan panggilan ibu pertiwi

Puisi ciptaan Bang Mayor Pohan inilah dulu yang sanggup membakar semangat para pemuda maju menghalau lagi penjajah yang kembali masuk ke Indonesia pasca kemerdekaan. Bahkan seorang pencopet seperti Naga Bonar, yang sekolah bambu pun tak tamat, pun bergetar dan tergerak hatinya untuk bangkit dan memimpin rakyat menghalau penjajah. Semangat yang ironisnya sangat tak terlihat pada jiwa para pemuda dan mahasiswa dan kaum terpelajar di era Halo Selebriti ini.

Pemuda dan mahasiswa yang sebetulnya adalah penyambung lidah rakyat, corong suara masyarakat. Mahasiswa dulunya adalah pahlawan kemerdekaan media, sekarang malah berbalik diperalat media. Sayangnya kini mereka lebih suka berdesakan antri untuk terpilih menjadi serigala yang ganteng, ketimbang berpanasan di depan gedung parlemen sampaikan aspirasi rakyat. Lebih suka menjadi tim hore-hore di acara lawakan mesum. Lebih suka bertepuk tangan di panggung hiburan saling hina. Di sosial media lantang berorasi, tapi jadi pecundang demi bisa tampil di tipi. Garang bersuara di dunia maya. Mengkerut di dunia nyata, dihadapan hidangan makanan di istana negara.

Tak ada lagi KAMMI dan KAPPI yang dulu paling terdepan dengan Trituranya. Hampir tak terdengar mahasiswa berteriak ASAP…? Kenapa…?

Waktu merubah orientasi pendidikan kita. Dulu, kami sering dipaksa guru agar datang ke rumahnya demi makin memperdalam pengajarannya. Sekarang, nyaris semua tenaga pendidik berlomba-lomba buka bimbel, kursus, les private dan sebagainya, demi lanjutkan dan bertahan hidup.

Jaman dulu, orangtua berikan rotan pada guru untuk memukul bila kami malas belajar. Orangtua kalian malah lapor polisi hanya bila kalian dicubit guru sebab malas belajar. Generasi Petruk seperti saya dulu mengerti betul pedihnya peluru mainan dari pistol-pistolan. Generasi Halo Selebriti? Tinggal pencet tombol restart, new game, ehh…hidup lagi, hahaha…!
Sementara itu, jiwa kolonialisme tetap eksis mengusik bangsa kita. Sebagai negara besar dan kaya, sudah begitu mayoritas muslim pula, Indonesia adalah target utama imperialisme asing dan Yahudi. Indonesia adalah ancaman besar, karena itu mereka mesti dikungkung dan dibelenggu dengan kebodohan. Imperialiesme masih menjajah mental bangsa kita.

Pelajaran kebangsaan seperti PSPB dan PMP/PPKn yang begitu penting demi nasionalisme sukses mereka hapus. Sejarah inspiratif bangsa mereka belokkan, manipulasi. Kita tak pernah tahu seperti apa kronologis Perang Bubat yang menghitamkan sejarah tokoh nasional Gajah Mada. 

Kita bahkan tak tahu bahwa ada anak muda yang saking ditakutinya mereka juluki Napoleon Jawa. Saking hebatnya, strategi perangnya sampai mereka pelajari bahas dan tulis dalam sebuah buku. Selain Sultan Hasanuddin yang mereka juluki Ayam Jantan Dari Timur, siapa lagi pejuang kemerdekaan yang pernah diberi gelar oleh penjajah karena begitu ditakutinya? Tak ada? Cuma sang Napoleon Jawa. Buku Perang Gerilya karya Jendral Nasution memang menginspirasi pasukan Vietkong dalam perang hadapi Amerika. Tapi strategi perang siapa yang sampai begitu detil dipelajari bangsa penjajah sampai-sampai dibuatkan buku? Cuma strategi perangnya sang Napoleon Jawa.

Napoleon Jawa itu tak pernah diangkat jadi pahlawan Nasional, sebab entah kerjaan siapa yang mengaburkan sejarahnya. Dialah Sentot Prawiradirja Alibasya, salah seorang panglima perang Diponegoro. Aneh tidak, kenapa orang Belanda bernama E.S. De Klerek malah membahas strategi perang Sentot Alibasya, bukannya strategi Pangeran Diponegoro dalam bukunya “De Java-Oorlog Van 1825-1830” itu…? Aneh tidak, kenapa yang dijuluki Napoleon Jawa itu Sentot Alibasya, bukannya Pangeran Diponegoro…?

Menjadi makin aneh, sebab di Indonesia sendiri dia tak pernah diangkat jadi Pahlawan Nasional. Dalam buku Rekreasi Hati saya pernah duga penyebab utamanya. (belakangan saya juga sudah temukan dugaan baru penyebabnya, Insya Allah di Rekreasi Hati berikutnya, hehehe….!). Dia meninggal dalam keadaan masih jomblo. Tak ada keturunan yang bisa, setidaknya sebagai referensi untuk menelusuri sejarah panjang perjuangannya, mulai dari Perang Diponegoro(1825-1830), Perang Paderi tahap 2 (1830-1837) hingga bolak-balik dari pengasingan sampai meninggal di Bengkulu, 17 April 1855 pada Usia 48 tahun.

Sungguh sosok yang sangat inspiratif. Usia belum 17 tahun sudah jadi panglima perang dengan anak buah mencapai 1000 orang, dalam Perang Diponegoro. Di Perang Paderi, perannyanya juga tak kalah penting. Dialah tokoh kunci babak belurnya Belanda 11 Januari 1833. Dialah juga tokoh penting yang memberangus sentimen anti Jawa di Minangkabau saat itu, hampir se-abad jelang dicetuskannya Sumpah Pemuda. 

*Selamat Hari Sumpah Pemuda….!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Seri Komplotan

Seri Komplotan mungkin serial karya Enid Blyton yang paling tidak populer di Indonesia. Meski cuma terdiri dari 6 judul, tapi inilah karya s...