Yaasiiin….!
Walquranil hakiiim….!
Innaka laminalmursaliim…!
…
Makin lama bacaannya makin laju. Beberapa orang memang sanggup mengikuti performa sang imam. Tapi lebih banyak yang gagal. Saya dan banyak lainnya mulai terdedea-dedea (ala si Bungsu, ‘Tikam Samurai’nya Makmur Hendrik, hahaha….!) keteteran dan gelagapan memburu imam yasinan. Tapi sang imam tak peduli. Semakin lama semakin cepat saja dia melafalkan ayat-ayat suci itu. Saya yang keteteran mulai curang. Beberapa kata saya potong hingga akhirnya mampu kembali mengimbangi imam. Saat itu saya sudah tak peduli lagi bagaimana dengan jemaah yang lain. Yang penting saya bisa mengimbangi imam.
…
Makin lama bacaannya makin laju. Beberapa orang memang sanggup mengikuti performa sang imam. Tapi lebih banyak yang gagal. Saya dan banyak lainnya mulai terdedea-dedea (ala si Bungsu, ‘Tikam Samurai’nya Makmur Hendrik, hahaha….!) keteteran dan gelagapan memburu imam yasinan. Tapi sang imam tak peduli. Semakin lama semakin cepat saja dia melafalkan ayat-ayat suci itu. Saya yang keteteran mulai curang. Beberapa kata saya potong hingga akhirnya mampu kembali mengimbangi imam. Saat itu saya sudah tak peduli lagi bagaimana dengan jemaah yang lain. Yang penting saya bisa mengimbangi imam.
Dasar imam, entah
disengaja atau tidak, menyadari ada jemaah yang mengimbanginya dia pun
makin membalap bacaanya. Dalam waktu yang sebentar saja, saya kembali
tertinggal. Jauuuuuuh….! Imam sudah sampai di ayat 26, saya masih saja
dia ayat 23. Potong kata tetap tak menolong, akhirnya saya terpaksa
potong ayat. Langsung menyalip imam yasinan di ayat 27, hahaha…!
Ayat berikutnya lebih bersahabat. Cukup familiar di telinga, hingga
untuk beberapa saat saya merasa aman. Saya sudah di depan imam sekarang,
hahaha…!
Tapi ayat berikutnya susah lagi. Imam yasinan itu
kembali menyalip saya dengan jamaah lainnya yang saya duga juga berlaku
curang potong ayat seperti saya. Sekarang saya justru berada di garis
paling belakang. Saat itulah saya menyadari, tak ada gunanya meladeni
balapan gila ini.
Saya putuskan saja untuk melanjutkan dengan
pelan, perlahan tapi pasti sampai ke tujuannya. Saya baru sampai di ayat
52, saat imam dan jemaahnya telah finish, ayat 83. Saat rombongan itu
melanjutkan ke proses selanjutnya, tahlilan dan sebagainya, saya tetap
teruskan bacaan yassin saya, sampai selesai.
Proses meyelesaikan
ini juga sungguh tak mudah. Bisingnya suara tahlil membuat konsentrasi
saya baca yassin pecah terberai-berai. Jujur, saya lebih bisa menghapal
soal-soal pelajaran P4 sambil dengar bisingnya Def Leppard ketimbang
sholat khusyuk sebagai masbu’ (ma’mum yang terlambat), namun diiringi
oleh bisingnya bacaan pemimpin doa usai sholat yang terkadang bahkan
menggunakan microphone, walau bahkan bacaan sholatnya sudah sangat saya
hapal di luar kepala. Naah….!
Sampai di sini saya pun menyadari, benarkah praktek ibadah kita selama ini?
Bukankah berdoa itu lebih baik dilakukan sendirian, dengan maksud yang
spesifik dan dengan suara sehalus mungkin? Terus terang, sebagai masbu’,
saya merasa teraniaya dan hak saya untuk melanjutkan sholat dengan
khusyuk merasa dikebiri…? Lagipula, apakah doanya bermanfaat…? Mari kita
lanjutkan…!
Tahlil, tasbih, tahmid, tahtim atau takbir dan sebagainya itu
sungguh sangat rawan keliru.
sungguh sangat rawan keliru.
Subhanallah…subhanallah…sbanalah…sbanlah…banalah…banalah…banlah…banlah…!
Alhamdulillah…Alhamdulillah…hamdilah…hamdilah…hamlah…hamlah…!
Allahuakbar…Allahuakbar…lohuakbar…lohuakbar…lohkbar…lohkbar…lokbar…lokbar…!
*Astagfirullahaladziim….! Yaa, Allah, jauhkanlah kami dari godaan syaiton yang terkutuk, aamiin…!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar