Sangat banyak sudah kita baca dan dengar kisah-kisah yang berkesan dan inspiratif. Tapi kisah paling inspiratif yang pernah saya saksikan langsung, walau via televisi adalah aksi Valentino Rossi di MotoGP seri terakhir di Valencia tahun lalu.
Saya bukanlah
penggemar acara balap-balapan begitu. Apalagi melakukannya langsung. Bahkan
seumur hidup, belum pernah rasanya saya menggeber motor lewat dari 70km/jam.
Bayangkan saja, saya pernah bermotor sendirian start dari Padang jam setengah Sembilan
pagi, sampai di Payakumbuh saja jam 5 sore, hahaha…!
Menonton acara
balap, walau pernah itu juga cuma sesekali saja. Itupun karena ada teman yang
jadi kontestan dan saya punya kesempatan nonton gratis bahkan bisa masuk
paddock, kenapa mesti ditolak, kan? Hehe…!
Pun begitu
dengan menonton di tivi. MotoGP dan juga Formula 1 bukanlah tergolong acara
favorit saya. Tapi beda dengan seri terakhir musim 2014/2015 tersebut. Sangat
penting untuk menyaksikan langsung kisah yang berpotensi mengguncangkan batin,
bahkan meneteskan airmata haru. Dan benar-benar kejadian.
Dalam posis
unggul 7 point Rossi sebetulnya tak perlu terlalu ngotot dalam membalap. Bahkan
jika Lorenzo finish pertama sekalipun, Rossi cuma butuh finish ke-3, dan dia
bakal jadi juara dunia. Atau bila Lorenzo finish ke-2, dia juga cukup finish ke
4 saja. Itulah kenapa Marques ngotot membalap dengan Pedrosa yang sangat cepat
karena takut Pedrosa juga bakal menyalip Lorenzo, sedang Rossi sudah berada di
belakang mereka bertiga.
Tapi itu dalam
kondisi normal. Padahal situasi sedang tak normal. Rossi malah dihukum start
dari grid paling belakang. Membayangkan mesti menyalip hampir seluruh pembalap saja
itu begitu mengerikannya. Saking ngerinya, Rossi bahkan sempat putus asa, mogok
ikut bertanding dan merelakan gelar juara yang sudah di depan jidatnya.
Diperlakukan
dengan tidak adil itu nyaris mematahkan semangatnya. Tapi itulah hikmah dibalik
peristiwa. Bersalah atau tidak, yang pasti dia sudah diperlakukan secarqa tidak
adil. Ini ibarat seorang yang hobi kentut sembarangan dan diblacklist ikut
acara makan-makan sebab berpotensi membuat pesta jadi tak bermutu. Simpati
hadir mendukungnya. Fans dadakan tiba-tiba membludak jumlahnya. Lintas social,
gender. Laki, perempuan, awam dan seleb, sipil dan politisi ikut bersuara
menyemangatinya. Dan akhirnya kita tau betapa gagahnya Rossi berlaga. walau
gelar juara gagal diraihnya. Lorenzo
memang juara, walau bahkan tak menyalip seorangpun. Tapi itulah juara tanpa
lawan. Juara itu mesti menyalip, dan Rossi lah sang penyalip itu. Dan yang
disalipnya pun bukan cuma seorang, tapi 26 pembalap. Artinya: Rossi 26 kali
lebih hebat ketimbang Lorenzo.
Bahwa ada memang
masalah yang tak mungkin dibereskan. Tapi tak mungkin dibereskan bukan berarti
tak perlu dibereskan. Ada masalah yang bukan untuk diselesaikan, tapi tetap
butuh diselesaikan. Itulah dia masalah dari jenis yang bertujuan sekedar
menguji kekuatan mental dan kesabaran.
Kita cuma disuruh menyelesaikan walau tak mungkin selesai.
Menyaksikan
perjuangan Rossi saat itu benar-benar mengharukan. Menonton aksinya saja
rasanya bahkan belum cukup. Berkali-kali saya tonton tayangan ulangnya. Klik banyak
link berita walau isinya begitu-begitu saja, tapi sungguh mampu merontokkan
angkuhnya emosi lelaki saya. Membaca berulang-ulang artikel-artikel, testimony dan
apresiasi orang-orang terhadap perjuangan seorang Rossi dengan mata yang
berkunang-kunang menahan gengsi agar airnya tak sampai menetes, wkwkwkw….!
Kisah inspiratif
memang selalu luar biasa. Saya tak pernah lagi berpikir, bahwa Rossi menendang
Marques di sirkuit Sepang, seri sebelumnya yang membuatnya divonis start paling
belakang itu. Orang sehebat Rossi boleh saja start dari mana saja. Orang istimewa
seperti Rossi boleh dan sah berbuat apa saja. Margery boleh melakukan tindakan
jahat apa saja terhadap Pat, sebab dia telah melakukan hal nekat demi
menyelamatkan nyawa teman yang justru telah memfitnahnya. Setidaknya, begitulah
kata Enid Blyton dalam salah satu serial novelnya, hahaha….!
Malam telah
larut, penonton sudah lama bubar. Stadion nyaris telah kosong. Tapi ternyata
pertandingan belum selesai. Dari jauh terlihat seorang pelari dengan
berjinjit-jinjit menahan sakit berlari menuju garis finish. Beberapa orang yang
masih di sekitaran stadion yang kebetulan mendengar pengumuman panitia bahwa
ternyata masih ada peserta yang menuju garis finish kembali memasuki stadion. Stadion
kembali bergemuruh. Semua bersorak menyemangati sang pelari terakhir tersebut.
Tepuk tangan bergemuruh. Semua memberi standing aplaus. Apresiasi terhadap
pelari paling lambat itu jauh melebihi pelari tercepat peraih medali emas
di ajang Olimpiade tersebut.
“Kenapa tetap
melanjutkan pertandingan? Cedera ini akan membuat anda lumpuh seumur hidup”,
kata wartawan.
“Negara mengirim
saya jauh-jauh bukan cuma untuk mengikuti pertandingan, tapi juga untuk
menyelesaikannya”, jawabnya patriotik.
Dan walau
akhirnya memang divonis lumpuh, negaranya menobatkannya sebagai Pahlawan. Dialah
atlet marathon
asal Tanzania bernama John Stephen Akhwari di Olimpiade tahun 1968 di Mexico.
*Selamat Tahun Baru 2016. Baru punya kalender soalnya, wkwkwkw....!
*Selamat Tahun Baru 2016. Baru punya kalender soalnya, wkwkwkw....!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar