Halaman

31 Mei 2016

Calon Presiden Negara Penggaruk 2



Lanjutan post sebelumnya...!

Soal keamanan ini berkaitan dengan penegakan hukum. Ini mungkin yang paling butuh waktu untuk menyelesaikannya. Sebab pertama, karena persoalan hukum justru diurus oleh orang-orang yang tak paham hukum. Lihat saja pengacara misalnya. Sebagai pengacara mestinya dia bertugas di pengadilan sebab pengacara adalah aparat pengadilan. Nah, kenapa saat seorang tersangka baru tertangkap saja pengacara sudah bolak-balik ke markas kepolisian? Ngapain mereka di sana? Apa yang mereka bela? Tugas pengacara adalah membela hak manusia, bukan membela perkara, kan…? 

Pengadilan pun begitu pula. Hakim mestinya tinggal memberi vonis bahwa atas tindak kejahatannya terdakwa divonis hukuman sekian tahun penjara dan sebagainya. Tidak lagi perdebatan antara jaksa dan pengacara terdakwa bahwa si terdakwa ini bersalah atau tidak. Bukankah itu tugasnya kepolisian sebagai penyidik. Polisi yang menyelidiki, interogasi, menyidik terdakwa. Polisi yang mengumpulkan bukti dan keterangan saksi. Jaksa tinggal menuntut bahwa si terdakwa layak dihukum sekian dan hakim tinggal mempertimbangkannya dengan masukan dari pengacara terdakwa. Bahwa si terdakwa punya anak kecil dan tulang punggung keluarga dan sebagainya. Terlalu berat bagi terdakwa dihukum sekian. Begitu, kan?

Di Amerika untuk kasus kejahatan kekerasan malah ada persidangan yang hakim-hakimnya adalah orang sipil yang buta hukum. Terdakwa dibebaskan memilih sendiri hakim-hakim yang akan mengadilinya. Bisa itu mahasiswa, petani, buruh atau masyarakat umum lainnya, yang tentu saja tidak berkepentingan terhadapnya dan lolos dan lulus uji kesehatannya. Sebab tugas mereka cuma untuk memberi vonis yang adil dan berkeadilan. Tak butuh keahlian khusus dan pengetahuan akan undang-undang.
Lihat saja betapa kacaunya sebuah persidangan di pengadilan. Setelah divonis sekian tahun bersalah, naik banding ternyata bebas. Jaksa naik banding atau keluarga korban gugat, ternyata menang. Si terdakwa naik banding lagi dan menang pula. Jaksa naik banding lagi dan menang juga. Jadi siapa sebetulnya yang benar?

Lihat betapa ada sidang bertahun-tahun dan sampai sekarang belum jelas apakah Sri Mulyani atau Boediono itu bersalah atau tidak. Ada persidangan yang disiarkan live di tipi secara ekslusif yang sibuk membahas typo, doank? Ada persidangan kode etik pejabat yang begitu rumit dan hebohnya yang ditutup dengan kesimpulan bahwa barang bukti original tidak ada. Lalu apa sebetulnya yang mereka sidangkan?

Rusaknya aparat hukum makin diperparah oleh hukum itu sendiri. Seorang aparat hukum yang jelas-jelas bersalah paling dianggap melanggar etik. Sanksinya pun paling banter mutasi doank. HAAAAH…!???

Pejabat dan aparat hukum yang melanggar hukum itu mestinya dipecat, bukan dimutasi. Normalnya, jika terindikasi saja sebetulnya yang bersangkutan mestinya sudah dipecat. Sebab kekuasaan dan jabatannya adalah akses yang memungkinkannya untuk mengintervensi hukum. Kalaupun toh akhirnya sangkaan terbukti keliru seluruh haknya kan bisa dipulihkan? Itulah gunanya hak rehablitasi dari Presiden, kan?

Persoalan hukum yang buruk inilah yang membuat martabat bangsa jatuh. Kenapa pihak asing protes hukuman mati terpidana narkoba misalnya? Karena ketidakpastian hukumlah sebabnya. Jumlah terpidana mati yang kita eksekusi belum seujung kuku bila dibanding dengan negara lain seperti Cina, Arab atau malah Malaysia misalnya. Kenapa mereka tidak heboh? Sebab mereka tahu bahwa yang dieksekusi betul-betul penjahat. Negara mana pula yang merasa begitu pentingnya membela penjahat?

Persoalan hukum negara kita sudah seperti benang yang kusut akut. Rumit? Sebetulnya tidak juga. Sebab benang yang kusut pun tetap bisa dioptimalkan. Tinggal gunting putus di sembarang tempat, maka si benang pun bisa digunakan.

Kita tinggal lihat rekap jejak dan karir perkara seluruh personel aparat hukum. Cacat sedikit saja, pecat! Tak perlu takut kekurangan aparat, sebab setiap tahun puluhan sarjana hukum yang di wisuda. Tiap tahun kepolisian menambah personil baru. Dengan rekor yang masih bersih dan segar, mereka adalah harapan bangsa untuk memperbaiki citra hukum negara kita.

MERDEKAAA…!

Calon Presiden Negara Penggaruk 1



Banyaknya fenomena artis menjadi politisi betul-betul mengherankan saya. Apa sebetulnya yang mereka cari? Kekayaan sudah mereka punya. Popularitas pun begitu pula. Memiliki keduanya adalah anugerah tak terhingga. Dengan kekayaan dan popularitas mereka sudah memiliki ‘hak istimewa’sebagai rakyat. Akses kemana-mana mudah. Identitas sebagai artis  adalah jalan tol untuk segala tetek urusan administrasi. Maka satu-satunya kesimpulan saya: mereka adalah orang yang benar-benar tulus ingin mengabdi demi bangsa. Sangat mustahil rasanya bila mereka berniat korup, sebab dunia keartisan mereka telah menawarkan segalanya. Saya sangat mengerti betapa geram betul rasanya punya potensi, tapi tak berdaya.

Dengan alasan yang sama pula maka saya ingin menjadi yang berguna bagi bangsa saya. Beberapa teman menyarankan saya beneran jadi politisi. Malah ada yang menawarkan saya kolom tetap di sebuah tabloid politik pimpinannya, haha…!

Tapi saya merasa tak layak nulis soal-soal politik buat umum. Biarlah saya menulis khusus bagi orang-orang yang menikmati tulisan saya, yakni Para Penggaruk, hahaha…! Saya hanya ingin mengabdi dan berguna bagi negeri fantasi saya, negeri Para Penggaruk. Saya ingin jadi Presiden Negara Penggaruk. Berikut saya akan menyampaikan visi misi saya sebagai calon Presiden dalam beberapa seri.

1.      Bidang HANKAM (Pertahanan dan Keamanan).

Ini sebetulnya tinggal memaksimalkan saja. TNI kita sangat ditakuti, disegani dan dihormati negara lain. Angkatan Darat kita adalah yang paling ditakuti dunia selain Jerman. 89 negara di seluruh dunia dilatih oleh Kopassus kita. Beberapa waktu lalu saat latihan perang bersama, pasukan tentara Amerika minta dipulangkan sebab ngeri latihan dengan tentara kita.

“Mereka latihan perang pakai peluru betulan”, begitu alasannya, hahaha…!

Dan sejarah kita juga membuktikan betapa angkatan perang kita sejak dahulu kala memang tak bisa dianggap sebelah mata. Khubilai Khan dari Dinasti Mongol yang sudah mengusai ¾ belahan dunia tak ada apa-apanya dihadapan rakyat Singasari. Sejarah perang gerilya kita sudah menginspirasi perjuangan kemerdekaan banyak negara Asia dan Afrika khususnya.

Persoalannya, kenapa masih saja ada negara kecil seperti Singapura atau Malaysia yang dengan pongahnya mengklaim pulau-pulau kita sebagai milik mereka. Ini patut kita pikirkan. Bila mengingat hal-hal tersebut di atas, tentunya ini hal yang mestinya tak mungkin terjadi…?

Soal alutsista walau penting tapi rasanya bukan itulah penyebabnya. Toh, sejak dahulu permasalahan peralatan tempur ini sudah ada. Kita punya kekuatan, namun miskin kharisma. Ini persoalan serius, sebab menyangkut martabat bangsa.

Untuk menjadi bangsa yang bermartabat dan dihargai tentu kita membutuhkan pemimpin yang juga punya dan mampu menjaga martabat dan harga diri bangsa. Inilah yang tidak kita miliki.

Walau militer kita disegani dunia, bila komandannya begitu lembek tentu percuma. Prajurit tentu cuma mendengar apa kata komandan. Dan komandan, panglima tertinggi prajurit adalah Presiden. Itulah kenapa kita butuh presiden yang disegani dan dihormati, bukan saja oleh prajurit, tapi juga oleh bangsa lain.

Pemimpin yang tegas tinggal berikan komando, maka prajurit akan selalu siap tempur membela kehormatan negara. Pelanggaran atas kedaulatan negara tak butuh lagi diplomasi sebab semua negara berdaulat sudah tahu aturannya. Pilihannya buat mereka cuma: minta maaf, atau perang. Saya yakin saudara semua sependapat. Karena itu saya berani garansi, bangsa lain takkan berani macam-macam mengusik kedaulatan kita, Merdeka…!

*Bersambung…

29 Mei 2016

Tak Mesti Jadi Penggaruk, Walau Tinggal di Kandang Monyet

Lingkungan pergaulan saya ini sebetulnya sungguh tak sehat bagi yang bermental rapuh. Nyaris seluruh jenis criminal ada di sini. Mulai dari yang kelas teri seperti maling hp, jambret, sampai, kepada yang berat seperti ranmor, curas, rampok bahkan pembunuhan. Dan pelakunya adalah orang-orang yang saya kenal dan juga mengenal saya. Minuman keras dan narkoba adalah hidangan utama di setiap sesi nongkrong mereka. Peserta nongkrongnya pun terkadang tak sembarang orang. Seorang anak bisa saling tos gelas bir-nya dengan bapaknya sendiri yang ikut bergabung bersama teman-teman si anak. GILA…!

Tapi sebetulnya pula, saya sungguh nyaman bergaul dengan mereka. Ketimbang bergaul dengan manusia ‘lugu tapi normal’ lainnya terus-terang saya lebih suka bergaul dengan mereka. Orang-orang yang kita anggap pinggiran dan bodoh sehubung pergaulannya itu faktanya jauh lebih punya empati dan menerima orang lain apa adanya. Pintu rumah mereka selalu terbuka menerima siapa saja yang butuh naungannya. Ini sungguh kontras dengan rumah orang-orang yang katanya terhormat dan mulia, yang pagar rumahnya setinggi atap dilengkapi dengan gembok yang berlapis-lapis.

Orang-orang yang punya empati dan solidaritas tinggi yang tulus, bukan yang penuh motif ala-ala pejabat dan politisi kebanyakan di masa-masa menjelang Pemilu. Sekali waktu abang angkat saya punya sedikit masalah dengan seorang preman di depan rumahnya. Belasan orang segera datang, demi tahu bahwa yang bermasalah adalah abang angkat saya. Beruntung persoalan cepat kelar karena cuma persoalan sedikit salah paham.

Mereka bisa saja memukuli orang lain jika gagal dimintai uang untuk biaya mabuknya, tapi tidak terhadap saya. Bukan karena mereka tahu saya takkan ikut minum, tapi karena mereka tahu bahwa bila punya tanpa diminta pun saya akan memberi.

Mereka, yang sampai saya berumur segini masih saja suka bertanya;

“Sudah makan, kau…?”

Terhadap merekalah saya tak butuh malu untuk minta bila sedang kehabisan rokok. Merekalah orang-orang yang tak pernah risau memikirkan motornya yang saya bawa kabur berhari-hari tanpa kabar sama sekali. Dan mereka yang mengerti bahwa bila membeli bir misalnya, saya juga mesti dibelikan Soya dingin, hahaha…! 

Tak terlalu luas juga sebetulnya pergaulan saya di situ. Paling seputaran 3 atau 4 gang saja. Tapi nyaris seluruhnya alumnus penjara, hahaha…! Khusus kasus narkoba, setahun belakangan saya sangat banyak kehilangan mereka. Jumat lalu, 4 orang lagi ditangkap, tepat di saat salah seorang orangtua teman, yang sekaligus juga teman nongkrong mereka meninggal. Teman mereka berkabung, dan mereka diciduk.

Mereka bodoh. Sungguh bodoh. Bang Anu, si Itu dan si Ini sudah mati karena over dosis. Belum setengah tahun lalu, teman nonton Halo Selebriti yang ditangkap. Sebelumnya lagi 2 orang juga diciduk. 

“Kalian jenguklah aku sesekali! Bentar lagi aku sudah tak ada lagi nih. Aku dah divonis hukuman mati”, bunyi sms seorang teman yang tertangkap beberapa bulan sebelumnya pula.

Tahu Def Leppard? Mereka legenda music rock yang jangankan narkoba, konsumsi alcohol saja mereka tidak. Lihat betapa sehat dan pede-nya Phil Collen sang gitaris manggung tanpa baju memamerkan tubuh kekar 58 tahunnya. Mereka sangat paham betapa bahayanya miras sebab mereka sendiri sudah mengalaminya. Gitaris pertama mereka pecat karena nekad mabuk saat manggung. Gitaris berikutnya mati karena OD. Karena itulah mereka sampai sekarang anti narkoba. Dengar deh White Lightning-nya…!

You wanna leave but you can't let go
You wanna stop but you can't say no


Run…! He’s coming to claim you
Run…! Nowhere to hide away
Run…! U dance with the danger
Run…! Ohh, you gotta ride


Apa kerennya akrab dengan narkoba? Mabuk? Emang apa sih enaknya mabuk? Yang saya tahu mabuk itu pusing. Dan yang namanya pusing mana ada yang enak?

You never laugh about it, you just can't live without it
You've had enough but you just want more
You never get what you're looking for


Dan sekarang terimalah nasib kalian. Pejabat, artis dan mereka yang berduit mudah berdamai dengan hukum karena mereka punya kuasa untuk itu. Tapi kita orang biasa? Bikin repot orangtua dan keluarga iya. Teman? Jangan harap mereka akan mengunjungi. Meski bersimpati dan turut sedih dengan apa yang dialami, tapi mustahil saya akan turut membesuk. 

It's a no-win situation
And there's no way out
And no one will ever hear you
Scream and shout


Merasa keren bergaul dengan narkoba? Ayo kerenan mana kita? Jangankan narkoba, sekedar miras saja saya ga pernah tau tuh, rasanya gimana? Dan saya tetap merasa keren. Saat kalian sibuk dengannya, saya asyik menghasilkan karya. Buku saya dibaca dan dibeli orang. Saya sudah punya fans, Para Penggaruk, hahaha…! 

If u wanna dance with the devil, u gotta play his way

Benar katanya. Tapi juga benar bahwa tak mesti jadi penggaruk, walau tinggal di kandang monyet, hahaha…!

22 Mei 2016

Anomali Desain Mesjid

Setahun belakangan ada satu mesjid yang begitu nge-hits di Batam, yaitu Mesjid Jabal Arafah. Terletak di pusat kota Nagoya dengan komplek dunia bisnis di sekelilingnya termasuk beberapa Mall seperti Nagoya Hill. Penasaran dengar cerita bahwa ada mesjid yang begitu megahnya (selain Mesjid Agung Batam), saya coba lah pula ‘main-main’ ke sana. Dan benar saja. Mulai dari karpet yang tebalnya mungkin mencapai 10mm, juga ada perpustakaan dan toko buku, sepatu, sendal parfum dan busana muslim. 

Tapi dari pengalaman 3X ke sana ada satu hal yang sangat menganggu pikiran saya selaku seorang yang sedang shaleh (kan dalam rangka sholat) smile emotikon Bukan soal mesjid yang dijadikan lokasi selfie oleh banyak pasangan, baik legal dan apalagi ilegal itu. Tapi soal desain mesjid yang sangat tidak Islami.

Benar, ada banyak mesjid dan juga musholla yang juga keliru desain. Tempat wudhu yang bercampur aduk antara laki dan wanita misalnya. Tapi di mesjid kebanggaan Kota Batam yang satu ini sedikit beda persoalannya. Tempat wudhu sudah benar, besar, mewah dan terpisah pula antara pria dan wanitanya. Yang bermasalah adalah posisi tempat wudhu wanita. 

Untuk mencapai tempat wudhu, kaum ibu itu mesti melewati barisan jamaah laki-laki. Dan ini sangat tidak Islami, setidaknya bagi kami-kami kaum pria yang sedang shaleh temporer ini, hahaha…! Bayangkan deh, saat lagi kongkow-kongkow abis sholat misalnya, ada mamah-mamah muda berlenggak-lenggok mau atau pulang dari tempat wudhu’nya. 

Jika soal tempat wudhu tanpa batas yang tegas antara pria dan wanita di mesjid atau musholla saya ‘masih sedikit mengerti’. Sebab sebagaimana dianjurkan untuk wanita lebih baik sholat di rumah. Lagipula kalaupun hendak berjamaah di mesjid/musholla, wanita biasanya sudah berwudhu duluan di rumahnya masing-masing. Tapi untuk mesjid Jabal Arafah ini jelas beda persoalannya.

Mesjid ini bukanlah mesjid pemukiman penduduk. Mesjid ini adalah tempat sholat bagi semua orang yang sedang berada di dekat situ. Misalnya bagi karyawan atau yang sedang belanja di Nagoya Hill tentu butuh sholat juga. Sholat di musholla mall yang sangat kecil tentu merepotkan. Supir-supir taksi, tukang ojek atau pedagang kaki lima di sekitaran situ tentu juga paling idealnya sholat di sana. Intinya, mesjid yang satu ini adalah mesjid milik semua muslim dan muslimah. Dan desain mesjid yang keliru ini sebetulnya bukan persoalan yang bisa diremehkan begitu saja.

Inilah pentingnya kenapa Islam perintahkan umat untuk belajar. Umat Islam mesti pintar, sehingga untuk membangun mesjid tidak menggunakan kontraktor non muslim. Pimpro, designer, konsultan dan seluruh stakeholder pembangunan mesjid mestilah orang Islam sendiri. Pun begitu dengan hal-hal lainnya. Nah bagaimana bisa menjalani hidup yang Islami, jika Cuma untuk membangun tempat sholat saja kita mesti mempercayakan pada mereka yang bukan Islam…?

*Naudzubillahi min zalik…!

17 Mei 2016

Saya, Si Itu, Si Anu dan Si Ini

Beberapa waktu lalu HP saya hilang. Sebulanan kemudian saya tahu HP tersebut dipakai oleh si Itu, seorang teman nongkrong (juga). 

"Si Itu siapa?", seseorang bertanya.

"Si Itu teman si Anu", jawab saya.

Dan orang yang bertanya ini lalu percaya bahwa si Anu-lah pencurinya, sebab selain track record-nya yang hitam, dia memang 'punya akses' untuk melakukannya.

Jadi siapa sebetulnya yang mencuri? Pilih jawaban berikut analisa dan penjelasannya.

A. Si Itu
B. Si Anu
C. Si Ini
D. Bukan ketiganya.


*Survey serius

Yang di atas itu adalah status Facebook saya beberapa waktu lalu. Status tersebut saya post karena terinspirasi oleh jawaban si penanya. Keyakinannya bahwa Si Anu-lah yang mencuri membuat saya merasa perlu membuat sebuah survey. Yaa, berupa status tersebut, hehehe…!

Lumayan ada tanggapan, tapi tak begitu sesuai dengan ekspektasi saya. Ada yang menduga saya sedang berteka-teki as always, hahaha…! Maka yang dianalisanya justru kalimat-kalimat postingan saya. Ada juga yang menuduh pelakunya adalah saya sendiri tanpa menganalisa sama sekali. Ada pula yang malah mengomentari saya yang hobi kehilangan handphone, hahaha…! Jadi komentar mereka terpaksa kita abaikan saja.

Walau begitu, ternyata ada satu orang yang ternyata menganggap postingan itu survey betulan. Dan kesimpulannya sama dengan si penanya dalam postingan saya itu: pencurinya adalah si Anu. Sayangnya tanpa memberikan sedikit analisa seperti yang saya perlukan. Tapi walau begitu saya yakin bahwa dia juga punya alasan yang sama dengan si penanya.

Maka kesimpulan saya, mereka menuduh si Anu karena selain rekam jejak yang hitam, dia juga punya akses untuk melakukannya. Padahal mereka keliru. Dugaan saya, malah si Ini pelakunya. Bad storiesnya juga tak kalah kelam. Dia juga teman dekat si Itu. Tapi yang lebih meyakinkan saya adalah bahwa dia jauh lebih punya akses ketimbang si Anu.

Mengapa tak ada yang menduga si Ini pelakunya? Karena saya tak memberikan keterangan sedikitpun tentangnya. Inilah sebabnya dan itulah akibatnya. Informasi yang tak mendetail ternyata begitu bahayanya. Terbukti bahwa 2 orang yang saya tanya semuanya menuduh si Anu. Lalu apakah sebagai pemberi berita saya bisa mutlak disalahkan?

Tidak juga. Mestinya terhadap si penanya saya menjawab bahwa si Itu itu teman si Ini, bukan teman si Anu, sebab si Itu itu selain teman si Anu adalah juga teman si Ini. Persoalannya adalah bahwa si penanya hanya kenal Si Anu, bukan si Ini. Itulah kenapa terhadap pertanyaannya saya menjawab bahwa si Itu teman si Anu, sebab yang dia kenal adalah si Anu, bukan si Ini.

Bingung? Bodo amat, hahahaha….!

Tapi apakah di postingan yang ditujukan untuk survey itu saya juga bisa disalahkan? Tidak juga, sebab yang saya survey bukanlah berapa banyak yang menuduh si Ini, Si Anu atau si Itu. Saya hanya ingin melakukan riset dampak dari sebuah omongan, tulisan dan sebagainya yang gagal memenuhi unsur etik jurnalisme. Dan terbukti, bahwa omongan dan tulisan yang gagal etik itu dampaknya bisa menjadi fitnah luar biasa, bahkan walau dilakukan tanpa niat dan kesengajaan sama sekali, hiiiks….!

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...