Halaman

18 Apr 2017

Pesawat dan Bid'ah



Nyo        : Jadi, naik kapal atau pesawat?

Den        : Kapal, donk!

Nyo        : Pesawat lebih murah

Den        : Naik kapal lebih asyik. Banyak yang bisa dilihat

Nyo        : Naik pesawat juga bisa. Pramugarinya cantik-cantik. Suka tersenyum pula saat bagi-bagi makanan misalnya?

Den        : Perawat di rumah sakit juga cantik-cantik (kata orang). Dan tak cuma suka tersenyum dan bagi-bagi makanan. Nyuapin kita makan aja mereka mau. 

Nyo        : Tapi cantikan pramugari, donk! Tinggi langsing kayak model.

Den        : Cantik, tapi begitu kita duduk aja mereka sudah langsung bikin horror. Sudahlah nyuruh badan kita diikat, omongannya pun tak enak didengar. Bahwa bila ada begini begitu, segeralah begini begitu dan semacamnya. Pokoknya bikin ngeri deh!

Nyo        : Jadi sebetulnya karena kau takut naik pesawat?

Den        : Yaaa enggak lah! Bila memang sudah saatnya mati, yaa mati aja! Ga perlu nunggu mati naik pesawat donk!

Nyo        : Itulah! Generasi kita sudah terlalu jauh dari agama.

Den        : Maksudnya?

Nyo        : Kau lihat orangtua-orangtua kita dulu. Mereka tak perlu jauh-jauh naik pesawat. Bila rindu cucu misalnya, para buya atau ulama-ulama dulu tinggal baca ayat ini ayat itu beres. Dalam sekejap mereka sudah tahu kabar atau cucunya sedang ngapain. Kau bila serius mau ketapel Ahok baiknya berguru dulu sama buya-buya atau orang-orang hebat seperti itu.

Den        : Loh, buat apaan? Belajar (ngaji) sama siapa aja bisa. Al-Quran itu petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Tak ada keraguan di dalamnya (Al-Baqarah ayat2). Jadi siapa saja yang bertaqwa dan mau mengaji pasti akan diberi ilmu, sebab ilmu itu adalah petunjuk.

Nyo        : Ya, tapi cuma sebatas itu aja kan?

Den        : Maksudnya?

Nyo        : Yaa, kita takkan bisa sampai ke level ma’rifat, hakikat dsj seperti buya-buya itu, kan? Tak mempan peluru, kebal bacok dan sebagainya. Penting tuh, bila kau serius mau mengketapel Ahok, hahaha…!

Den        : Umar bin Khattab dan Usman bin Affan adalah 2 diantara 10 orang yang sudah dijamin masuk surga oleh Allah SWT. Dan mereka matinya dibunuh. Ga kebal bacok tuh! Apa buya-buya atau kyai-kyai kebal bacok begitu lebih mulia ketimbang mereka berdua?

Nyo        : Yang jelas buya-buya atau kyai-kyai itu pasti sudah sampai di level ma’rifat, hakikat atau apalah itu namanya. Ga kayak ustadz-ustadz atau ulama-ulama sekarang yang yasinan atau rati’ (zikir geleng-geleng) diharam-haramkan. Dikit-dikit haram. Dikit-dikit bid’ah.

Den        : Yaa kalau bid’ah kan emang dilarang. Mengada-adakan yang tak pernah dilakukan Nabi.

Nyo        : Nabi tak pernah naik pesawat. Jadi yang naik pesawat itu pelaku bid’ah?

Den        : Nabi tak pernah minum Jas Jus atau Kuku Bima Susu. Nabi tak pernah makan Oreo atau BengBeng, baik makannya langsung atau nunggu dingin dulu. Nabi juga tak pernah makan mie rebus yang air panasnya dioplos sama teh celup sedikit seperti yang kubikin tadi. Apa aku termasuk pelaku bid’ah? Makanya (belajar) ngaji tu pada ulama, bukan pada dukun, hahaha…!

Nyo        : ??? (hening)

*Tamat

13 Apr 2017

Maafkan saya, Tuan Patriot!

Dan lusa kemaren kita kembali dikejutkan dengan video kampanye provokatif Ahok. Dan emosi saya pun kembali membuncah. Ini sudah keterlaluan. 

2 tahun lalu saya sudah menulis tentang Maria Felicia Gunawan, pahlawan2 bulutangkis Indonesia dan tentu saja termasuk soal Rio Haryanto. Silakan baca ulang tulisan saya mulai 17 Agustus 2015 sampai Desember tahun yang sama. Saya curiga viralnya mereka pasti punya maksud tertentu. Dan sekarang terbukti kecurigaan saya. Lihatlah video kampanye tersebut! Video tersebut sangat jahat dan sarat fitnah nan menghasut. Mereka (Ahok dan timnya) adalah orang-orang yang berbahaya bagi kedamaian di Indonesia. Sangat mengancam eksistensi Bhinneka Tunggal Ika yang justru sangat mereka agung-agungkan. 

Karena Ahok, saya sampai ‘tega’ berprangka terhadap saudara seiman saya yang hafidz: Rio Haryanto, hanya karena dia dari etnis Cina. Maafkan saya, akhi…!

Karena Ahok, prestasi Maria Felicia Gunawan, siswa yang didaulat sebagai pembawa bendera pusaka merah putih bagi saya tak ada nilainya. Itu bukan prestasi, walau bahkan terpilih sebagai pengibar bendera  upacara Senin pagi di sekolah saja saya tak pernah. Maaf yaa, Dik Maria! Dekali lagi maaf, ini karena mata sipitmu.

Karena Ahok, saya sekarang benci terhadap Rudy Hartono dan kawan-kawan dengan the seven magnificient-nya. Saya benci dengan para pendekar Cipayung, Alan Budikusuma, Susi Susanti dan kawan-kawan. Kenapa di akhir milenia dulu tak kita setujui saja wacana IOC agar bulutangkis tak dipertandingkan di Olimpiade. Banyak jenis olahraga dan permainan lainnya yang potensial kita kuasai. Kita mestinya perjuangkan saja domino, koa, ceki, qiu-qiu agar ikut dipertandingkan di Olimpiade. Kita punya sangat banyak talenta di cabor tersebut. Mulai dari kelompok umur U-17 sampai kelompok umur U-71 kita punya. Medali emas praktis 90% milik kita.Maka kita tak butuh lagi, Alan Budikusuma atau Susi Susanti. Kita beda. Kita pribumi Indonesia, mereka dari keturunan Cina. Maaf…!

Maafkan saya! Demi mereka, beberapa tulisan visioner saya terpaksa tak saya muat di buku, beberapa bahkan terpaksa saya hapus mengingat tak banyak pembaca yang bisa ‘membaca’ maksudnya. Tulisan-tulisan yang sebetulnya untuk mengingatkan betapa berbahayanya rejim ini, bukan saja bagi kami kaum muslim pribumi, tapi juga bagi kalian yang non muslim dan dari etnis Cina. Lihatlah video tersebut. Jika kami muslim pribumi ini mau, habis kalian semua. Silahkan baca dan kaji sejarah Islam versi mana saja! Islam tak pernah kalah nyali, jika perang memang mesti terjadi.

Saya tak pernah benci non muslim. Saya bahkan sangat menyanjung betapa heroiknya Wolter Robert Monginsidi. Potonya yang mati gagah memeluk Injil dihadapan regu tembak Belanda jelas lebih layak dipajang di kamar ketimbang poster Kurt Cobain, vocalist Nirvana yang mati putus asa itu.Tapi…!

Yaa, tapi…!

Sekarang saya benci kenapa dulu begitu menyanjungnya. Saya mulai mencurigai sejarahnya. Benarkah dia memang mati bersama kitab suci Injilnya? Lebih jauhnya lagi, benarkah di Indonesia ini memang ada pahlawan perjuangan bernama Wolter Robert Monginsidi? Fakta sejarah? Maaf, sekarang saya mulai ragu. Maafkan saya, Tuan Patriot! Ini semua gara-gara video kampanye tersebut. Video kampanye Ahok-Djarot.

Curhat Aja

Sejak munculnya kasus penistaan agama oleh Ahok ini saya sangat aktif posting status di Facebook. Sebaliknya malah sangat mandul update di blog. Soal Facebook dulu pernah saya ungkap alasannya. Tapi soal blog baru kali inilah saya ‘temukan’ penyebabnya. Awalnya saya menduga ini efek euforia terbitnya buku ke-2. Dugaan berikutnya, saya masih dalam proses adaptasi mendapatkan fix chemistry dengan Rani, wkwkwk…! Dugaan mutakhir, suasana hati yang begitu emosional tidak saja oleh babak belurnya klub favorit saya Arsenal dan pemain idola Thomas Rosicky yang dihabisi karirnya oleh cedera yang tak kunjung sembuh, tapi lebih tegasnya disebabkan oleh yaaa, dinistanya agama saya oleh Ahok. Suasana hati yang emosional tak baik untuk tulisan-tulisan saya. Dugaan terakhir ini akhirnya saya simpulkan ‘benar’ setelah saya berulangkali selalu gagal menulis dialog2 imajiner khas Rekreasi Hati, bahkan walau telah direquest beberapa kali oleh fans, hahaha…!

Kegagalan tersebut buat saya sedih. Saya sudah coba berulangkali dan berakhir sebagai draft belaka. Walau buramnya memang masih ada, tapi takkan mungkin lagi saya post sebagai akan melanggar ciri utamanya yang ‘automark’ dan anti bajak, hahaha…! Postingan yang selalu up to date takkan mungkin bisa diklaim pihak lain. Silahkan baca karya2 serupa saya sebelumnya! Siapa yang bisa bajak dan klaim sebagai miliknya, hehehe…?!

Saya baca ulang, dan analisa demi untuk temukan penyebabnya. Dan akhirnya setelah saya komparasi dengan postingan2 status di Facebook sangat kentara bedanya. Fix, saya ternyata begitu emosional. Dalam karya2 dialog imajiner saya sebelumnya terlihat emosi saya sangat terkontrol. Deliverynya yang keren, beat to beatnya mengalir lancar dan ditutup dengan dead punch yang sempurna, hahaha…! Sangat kontras dengan status2 Facebook saya yang langsung to the point. Satu kalimat, tapi mematikan, hahaha…!

Demi masa depan blog saya mesti belajar lagi belajar mengontrol emosi. Itulah kenapa beberapa hari belakangan ini ‘saya terkesan off di Facebook. Saya coba sedikit rileks dan berhasil buat satu karya dialog imajiner terbaru, meski belum PeDe untuk menyebarnya di Facebook, hahaha…! Tak mudah memang untuk mencoba enjoy, sebab yaaa nasib Arsenal yang tak kunjung membaik dan sudah pasti Rani, si bidadari yang tak kunjung bisa saya curi selendangnya, hahaha…!

7 Apr 2017

My Wonderfull Life 2

Setelah diperkenalkan seadanya layaknya seorang karyawan baru, saya coba membaur dengan mereka. Rata-rata mereka jauh lebih muda ketimbang saya.

“Hai genk, kenalin! Aku Raul!”

“Aku Anu, Bang!”

“Asli mana? Aku Padang”

“Ooo…! Aku Jawa. Padangnya di mana, Bang?”, sok akrab, hahaha…!

“Payakumbuh”
Garing amat, kan?

Ehh, tapi tidak! Obrolan perkenalan garing yang terancam buntu tersebut saya buat lebih seru dan bermutu.

“Tinggal di mana?”

“Batu Aji, Bang!’

(Ehh, udah bermutu belum? Hahaha…!)

“Ooo, Batu Aji! SMKnya dulu di mana?” 

Karyawan cowok di perusahaan ini semuanya anak SMK dari jenis STM, hehe…!

“Aku anak SMK Teladan, Bang! Abang lulusan SMK mana?”

“Aku anak SMKN1. Kau kok ga masuk SMKN1 sih? Kan tinggal di Batu Aji? Ga diterima ya? Nilai ga cukup? Hahaha…!”

Mulai panas. Rekan-rekan lain yang awalnya cuek perlahan mendekat, merapat. Rata-rata mereka memang anak-anak alumnus SMK Teladan. Alhasil, saya dikeroyok bullyan mereka. Tapi saya ingat persis, itulah awal kepopuleran saya di perusahaan full kenangan tersebut.
“Ooo, begitu! Emang apa sih hebatnya SMKN1 itu? In charge (semacam ketua regu kerja, leader) abang aja anak SMK Al-Jabar. Bikin malu SMKN1 aja, hahaha…!”, balas mereka ga kalah sengit.

Ohya, sialan! SMK Al-Jabar memang sudah terkenal sebagai SMK yang paling ga benget se Kota Batam, hahaha…! Apes memang, sebab in charge saya itu memang anak SMK Al-Jabar, hahaha…!

Tapi bukan saya donk, jika menyerah kalah begitu saja.

“Sekolah kalian tu ya! (mulai berani manggil kalian. Hari pertama kerja lho ini ya! Hahaha…!). Udah numpang di gedung BLK (Balai Latihak Kerja), ehh seenaknya pula ganti nama Simpang BLK jadi Simpang SMK Teladan. Tak tau diri, wkwkwkw…!”

Obrolan perkenalan yang jauh dari kegaringan. Kesan pertama yang cukup membantu saya meraih panggung dan beroleh rasa hormat mereka, walau sejatinya saya ‘cuma cecunguk yang bisa mereka suruh ini itu. Karyawan baru, kan? Hahaha…! 

Seorang diantara mereka ada yang logat bicaranya cukup familiar di telinga saya.

“Anak Payakumbuh juga?”

“Iya, Bang! Tapi aku sudah dari lahir dan sekolah di sini!”

“Ooo…! Payakumbuhnya di mana?”
Lima tahunan kemudian…

Salah satu yang paling saya suka dari tanah Minang ini adalah alamnya yang sejuk, indah dan meneduhkan. Pulang kampung tak pernah saya lewatkan tanpa berpetualang ke sana sini menikmati agungnya Mahakarya Allah SWT ini. Seperti libur lebaran kali ini.

Bersama seorang adik lelaki saya berjalan-jalan (pake motor) ke kampung halaman Amak. Ohya, kami adik-beradik sebetulnya juga anak rantau, walau Cuma berjarak belasan kilometer dari kampung halaman Amak. Bosan lewat jalan yang itu-itu saja, kami pilih jalan memutar.

Kampung halaman kami memang udik. Tapi ketimbang yang lain-lain tentu bukanlah yang paling udik. Masih ada yang bisa dipamerkan. Mobil angkutan penumpang Cuma sampai di kampung kami. Setelahnya? Yaa, Cuma bisa dilewati motor atau pejalan kaki. Kalaupun ada, itu juga Cuma mobil-mobilan jenis pick-up untuk pengangkut buah, sayur atau hasil kebun lainnya. Listrik? Amat bergantung kepada jam tayang Uttaran dan Serigala Yang Ganteng, hahaha…!

Hari beranjak sore, tapi kami belum juga sampai ke kampung Amak. Bakalan gawat jika saat gelap kami masih berada di tengah rimba belantara begini, hahaha…!

Kami berpapasan dengan seorang anak muda 20an tahun yang membonceng 2 orang adiknya. Sekitar 10an meter saya berhenti. Anak muda itu juga berhenti.

Jreeeeeng… Jreeeeng… Jreeeeng…!

Ehh… Ohh…! Kayaknya kami saling kenal deh!

“Abang masih di Labtech?”

“Kau kerja di mana sekarang?”

Ternyata alumni Labtech juga. Dialah si anak SMK Teladan yang dulu sering saya olok-olok. Begitu jauh kami di kota saling menghina dan mengolok-olok identitas masing-masing, padahal aslinya kami sesama orang udik. Sama-sama anak rimba belantara. Sebab ternyata, rumah orangtuanya cuma berjarak satu atau dua kiloan meter saja dari rumah orangtua saya. Sama-sama di tengah rimba, hahaha…!

Ehh, tapi kampung saya listriknya 24 jam, ya! Dan udah diaspal. Ga kayak kampung dia. Daerah IDT, hahaha…!

*Sekian

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...