Halaman

31 Jul 2017

Bukan Siapa-siapa

Saya yakin bisa mengentaskan kebodohan di Indonesia. Saya mengerti cara pelaksanaannya. Sayangnya itu semata keyakinan saya sendiri. Tak ada yang memberi saya kepercayaan untuk melakukannya. Saya tak bisa berbuat apa-apa karena saya bukanlah siapa-siapa. Saya bukan menteri yang mengurus dunia pendidikan.

Saya tahu cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat, petani, nelayan, pedagang dan sebagainya. Saya bisa buat Indonesia berswasembada pangan, jadi negara eksportir hasil alam, ikan dan lainnya. Sayangnya saya bukanlah menteri pertanian, perikanan atau menteri perdagangan. Saya bukan siapa-siapa, maka tak bisa berbuat apa-apa.

Saya yakin mampu membereskan kekacauan dunia hukum Indonesia. Saya punya sistim oemberantasan korupsi, narkoba aneka jenis laku kriminal dan pelanggaran hukum serta perbaikan moral aparat. Sayangnya saya tak punya kewenangan untuk melakukannya, sebab nyatanya saya bukanlah siapa-siapa.

BUMN kita mestinya tak cuma sekedar sebagai broker atau calo. Kita mestinya bisa mengolah dan mengelola hasil alam sendiri. Ribuan sarjana teknik dan pertambangan diwisuda tiap tahunnya. Kita punya banyak SDM untuk mengelola kekayaan SDA yang kita punya. Jika dipercaya sebagai menteri ESDM misalnya, saya akan jadikan BBM, gas, listrik, air dan sejenisnya gratis bagi rakyat. Itu semua sangat mungkin. Tapi apa daya? Saya bukanlah siapa-siapa. Maka sayapun tak bisa berbuat apa-apa.

Jika saya adalah Menkominfo, tak bakal ada film miskin kualitas di Indonesia. Tak bakal ada program dan siaran TV bermuatan pembodohan. Tak bakal eksis itu para pelawak tapi tak lucu, penyanyi-penyanyi norak dan kampungan. Tak bakal ada berita-berita bohong, spin, hoax dan fitnah. Sayangnya, saya bukanlah siapa-siapa dan tak bisa berbiat apa-apa.

Mungkin sebab itulah saya kecil dulu bercita-cita jadi presiden, walau awalnya mungkin cuma karena jadi presiden itu kedengarannya keren. Berikutnya saya tahu bahwa jadi presiden itu kerennya ternyata beneran, hahaha...!

"Presiden adalah orang nomor 1", begitu pikir saya kala itu.

Tapi saat menulis ini saya jadi ragu, benarkah begitu? Semua menteri dan setingkatnya adalah bawahannya. Presiden tinggal perintahkan, maka pasti dilaksanakan. Beliau kan orang nomor 1? Atau saya keliru? Melihat kondisi Indonesia saat ini saya kok jadi ragu ya? Jangan-jangan beliau juga bukan siapa-siapa, makanya tak bisa berbuat apa-apa...?

25 Jul 2017

Suara Orang Mati


Presidential Threshold di atas 0 untuk Pilpres serentak itu benar-benar mengangkangi akal sehat.

PKS walau maunya PT 0%, mengaku hormati keputusan paripurna DPR, PT 20%. Koalisi Gerindra-PKS menurut Hidayat Nur Wahid 20.18%, bisa usung pasangan capres. Ehh tapi karena Fahri dipecat, bukankah suara PKS milik Fahri tak berlaku lagi? Kalau saya ga salah hitung, koalisi Gerindra-PKS minus kursi 'karya' Fahri (3 dari NTB) tinggal 19.64%. Masih bisa usung calon? Fans Jokowi rela nih, Koalisi itu bisa jadi usung Prabowo-Aher/Irwan Prayitno misalnya? Dan kalau menang pula, apa mereka jadi pasangan RI1-RI2 yang legitimate? Mulai saat diusung saja sudah bermasalah, kan?

Semua partai jadi saling sandera. Jaka Tarubuak Nasdem sudah mendapatkan selendang bidadari dari PDI-Perjuangan, Megawati. Sebaliknya, si bidadari itu juga sudah mendapatkan sarung milik si Jaka Tarubuak. Mereka terpaksa bersatu walau masing-masing punya cita-cita dan misi yang berbeda.

Kasihan Fahri Hamzah. 2014 dia nyumbang 3 kursi dari NTB untuk PKS. Ehh setelah dipecat, kursi itupun masih dipakai PKS di 2019 mendatang, hiiiks...!

Kasihan paman saya. Dia tulus betul mau mengabdi buat rakyat. Ikut nyaleg via Hanura karena katanya ongkos daftarnya paling kecil. Ehh, partainya tersebut malah dukung Jokowi yang sangat tak disukainya, hahaha...!

Ehh, tapi masih mending nasib beliau bila dibandingkan dengan Raden Nuh. Saya percaya integritas pencetus akun Trio Macan ini. Niat tulus memperbaiki negara, ikut nyaleg lewat Hanura juga, dan sayangnya gagal pula. Tapi perjuangannya tak berhenti hanya karena gagal nyaleg. Tiap saat dia berkoar-koar ingatkan rakyat bahaya Jokowi. Ehh suara miliknya digunakan Hanura untuk dukung Jokowi. Selesai? Ooh, belum...!

Gerah karena tak henti-hentinya mengkritik, akhirnya diapun dikriminalisasi. Tumben, cuma dialah setahu saya di Indonesia ini perkara UU ITE dipenjaranya di Nusa Kambangan. Kasihan benar nasibnya. Sudah begitu, suaranya miliknya di 2014 itu, ternyata masih dipakai juga untuk mendukung lagi Presiden yang sudah mengirimnya ke Nusa Kambangan, hiiiks...!

Saya sih ga rela ya, suara Freddy Budiman masih dipakai di 2019. Tak ikhlas sekali saya suara 2014 beberapa fans penista agama yang sudah mati entah ada kaitannya dengan muhabbalah Habieb Rizieq atau tidak, mati kecelakaan, nabrak tiang listrik, stroke atau apa saja masih aja dipakai di 2019?

Percuma saja saya kompori orang-orang agar jangan memilih Caroline, si artis video ehem-ehem. Walau bisa jadi rakyat akan kapok memilihnya, faktanya suara terbanyak yang diraihnya di 2014 itu masih saja dipakai untuk Pilpres 2019.

Jangan dikira orang-orang masih bersedia memilih lagi nama anggota DPR yang terlibat di E-KTP tersebut. Rakyat pasti ogah, mereka pasti pindah jagoan. Tapi suara mereka di 2014 itu masih jadi aset untuk Pilpres 2019.

Entah dimana nalar fans 20% ini. Suara hari ini dipakainya 5 tahun kemudian. Siapa yang bisa percaya selama itu takkan terjadi apa-apa. Apalagi mesti percaya terhadap komitmen seorag politisi. Saya putuskan jatuh cinta pada Dian, ehh dalam hitungan bulan dia kawin dengan orang lain. Alasannya, papanya setujunya BengBeng dingin. Padahal saya suka makan BengBengnya langsung. Sekarang saya lagi suka-sukanya sama Rani. Tapi siapa yang berani jamin? Kalau saya gagal jaga komitmen, seraaaam! Dia akan kembali jadi ikan, hahaha...!

.

15 Jul 2017

Romantika

Saat SD saya menyukai pelajaran IPS, tapi sekolah mengirim saya sebagai wakil di kompetisi bidang studi Matematika. Dan sekarang saya jadi penulis.

Di tingkat lanjutan saya ingin masuk SMA, tapi orangtua kirim saya sekolah di STM. Dan sekarang saya masih meraba-raba capai eksistensi hidup.

Saya lamar jurusan mesin karena ikut-ikutan teman. Tapi ditempatkan di jurusan Elektronik karena nilai saya saat mendaftar tinggi. Dan sekarang bila TV atau kipas angin rusak saya akan mencari teman saya Mugi.

Lamar kerja di PT Labtech maunya di bagian printing. Dengar-dengar banyak lemburnya. Tapi HRD menempatkan saya di bagian Elektronik, sesuai ijazah saya. Hasilnya saya cuma jadi kacung, padahal umur paling duluan, wkwkwk...!

Bual dan gombal sana-sini akhirnya bisa mutasi. Saya jadi kesayangan supervisor, tapi akhirnya dipecat manejer.

Suka sama Dian, tapi Dian sukanya sama orang lain. Akhirnya saya pilih Rani aja, teman si orang lain tersebut, wkwkwkwk...!

13 Jul 2017

Bahasa Dan Media

Dunia pendidikan kita begitu menganakemaskan anak-anak IPA, tapi berapa orang akhirnya diantara mereka yang jadi ilmuwan? Faktanya, industri pertambangan kita sebagian besar justru dikuasai pihak asing. Indonesia akhirnya dikuasai anak-anak IPS yang dulunya dianaktirikan. Mereka yang dulunya dipandang sebelah mata akhirnya berubah jadi pejabat korup dan pengusaha hitam perusak negara.

Kondisi yang diperburuk dengan anak-anak bahasa yang dulunya seolah-olah di sekolah diperlakukan seperti anak haram. Jurusan bahasa adalah kasta terendah dalam dunia pendidikan yang suka atau tidak mesti kita akui berlaku diskriminatif. Anak-anak yang diabaikan itu akhirnya jadi rakyat yang gagap informasi sebab gagal mengenal bahasa. Itulah induknya kebodohan.

Meremehkan pelajaran berbahasa adalah salah satu kecerobohan fatal dunia pendidikan kita. Untuk menguasai dunia, kuasai media. Pelaku media adalah anak-anak bahasa. Negara yang dikuasai pelaku media, penjahat dan pejabat korup, dan diisi oleh rakyat yang gagap informasi, tunggu sajalah saat-saat kehancurannya.

Akhirnya saya berkesempatan jadi seorang narasumber di sebuah forum imajinatif yang membahas tentang fenomena penulis muda AFI. Dalam undangan disebutkan saya dianggap punya kapasitas yang layak sebagai sesama penulis muda (qiqiqiqi...!) dan kebetulan sekali juga sudah cukup lama sebagai pengikut akun Facebooknya. Saya diberi kesempatan yang cukup besar berbicara panjang lebar tentang AFI, yang terkini diketahui melakukan plagiat video 'caruk-caruk', seorang gadis muda yang bunuh diri karena bully. Salah satu yang saya ingat statemen saya bahwa 'pemerintah mesti selamatkan AFI'.

Forum ini ternyata cukup menarik minat para pemilik media untuk meliputnya. Beberapa media partisan pemerintah memberi judul 'Siraul Nan Ebat Tuding Pemerintah  Korbankan AFI'. Selanjutnya dalam narasi berita juga disebutkan bahwa Siraul Nan Ebat itu pernah dipecat sebagai Ketua Kelas karena ketahuan merekayasa buku absen kelas.

Sebaliknya, media-media anti mainstream yang kontra pemerintah juga tak ketinggalan untuk memberitakannya dengan judul 'Pengamat Anggap Pemerintah Bertanggung Jawab Soal AFI'. Dalam narasi beritanya juga dijelaskan bahwa pengamat bernama Siraul Nan Ebat itu adalah penulis berbakat yang dulu selalu juara kelas yang saleh dan rajin menabung, hahaha...!

Sepintas tak ada yang salah dari pemberitaan keduanya. Mereka meliput acara yang sama dengan narasumber yang sama pula. Satu hal yang pasti, keduanya sama-sama beropini dan menggiring opini yang tak boleh dilakukan oleh media massa. Media massa itu memberi informasi, bukan beropini. Alangkah seramnya bila media massa dikuasai satu pihak dengan kepentingan hitam, sedang pangsanya gagal mengerti misi informasi yang diterimanya.

Board a plane to Katmandhu.
Talk to indians in Peru.
Find out how the fire went
How about Novel Baswedan?
are Munir and Hermansyah cases conspiration or an accident?
Was 9/11 and Kampung Melayu a big design?
Are BLBI, Century Gate and Sumber Waras grand corruption?

Trace a modern voodoo Chile
May be Jimy still alive
Is Firza Husein and Habieb Rizieq WA chat a fix?
Fake or real fact?
Restospective, big intrique
The early 80's, the human league.

Take the goverment to court
is the mayor really bought?
Who went to The Raul show?
Why Arsene Wenger is felling bad?
How to get Guns N Roses Classic Formation Concert tiket?

Or Lee Harvey will never die
CIA or the FBI
Feed sir Santa's nose tissue
Centerfold or terrorism issues.

She wants political operations,
She wants porno queen sensations,
She wants Iwan Bopeng descriptions,
and some celebrity addictions.

She wants acces to ANC,
She wants lunch with Jokowi
She wants boss tell her where she can interview Raul and Rani, hahaha...!

Per Gessle feat Raul ~ Reporter

11 Jul 2017

Reuni

Bagi peserta, reuni mestinya adalah suatu yang menggembirakan. Dan sebagai seorang peserta sebuah acara reunian sekolah setelah 20 tahun berpisah, tentu saja saya ikut bergembira walau ada satu hal yang sangat saya khawatirkan. Dan itu selalu saja kejadian. Saya sering gagal mengenali teman, walau dulu pernah punya sejarah bersama.

Dalam sebuah acara reunian pasca lebaran kemaren misalnya, saya pikir saya cuma mampu mengenali 'utuh' tak lebih dari 10 orang saja. Utuh dalam maksud bahwa saya kenal nama dan ingat rupanya. Padahal ini reuni terbatas pada 2 angkatan belaka. Ini telah saya prediksi sebelumnya. Itulah kenapa berbagai siasat coba saya buat demi menghindari acaranya, walau akhirnya saya gagal dan 'terpaksa' menghadirinya. Demi Allah, itu karena saya takut gagal mengenal teman-teman lama saya. Saya takut dianggap sombong dan sejenisnya, walau ternyata sikap saya menunjukkan bahwa saya memang terkesan sombong.

Saya memang ikut berkumpul dan bergabung dalam rumpian mereka. Tapi saya lebih banyak mendengar ketimbang bicara. Selain itu saya juga pilih duduk di samping. Ini jelas bukan Raul yang 'sebenarnya'. Raul itu orang yang di perusahaan tempatnya bekerja (dulu, sekarang sudah dipecat) itu punya satu 'singgasana' saat jam istirahat yang tak seorangpun berani mendudukinya. Raul, yang selalu jadi pusat perhatian untuk didengarkan segala joke, ceramah dan aneka sabdanya. Raul, yang ketiadaannya membuat sepi dan hambar suasana, wkwkwkwk...!

Saudara-saudari, teman-teman reunian yang saya cintai! Kalian mungkin paham bahwa ketimbang dalam pergaulan dulunya pun saya lebih banyak bicara dengan 'prestasi belajar' di sekolah. Tapi percayakah kalian bahwa di sekolah lanjutan, saya adalah siswa paling vokal dan cenderung radikal (?). Saya adalah ketua geng yang paling sering bikin ribut di sekolah saya nan jauh di rantau itu. Tak terhitung lagi entah berapa kali ibu guru ini dan itu menangis karena gagal menangani kebutuhan emosional saya. Hari terakhir di sekolah tersebut (saat pembagian ijazah) sayalah tukang buat onar yang membuat guru olahraga kami tak berani datang ke sekolah (konon) selama 6 bulan berikutnya. Saya adalah tersangka utama provokator yang karena gagal ditemuinya, teman saya jadi korban pelampiasan amarah dan dendamnya. Dan konon, menurut beberapa adik kelas, tugas guru olahraga tersebut akhirnya diemban guru agama kami. 6 bulan guru olahraga tersebut tak berani nongol di sekolah karena takut aksi balas dendam, dan itu terjadi gegara saya. Siraul Nan Ebat itu aktornya keramaian, hahaha...!

Tapi bersama kalian saya lebih banyak diam dan meminggirkan diri. Mengertilah, saya sangat tak mau buat kecewa teman-teman yang selalu menyanjung dan meninggikan saya. 20 tahun berpisah setelah kenal 'cuma selama 3 tahun', itu sangat mengikis memori otak dan kenangan silam saya.

Maka saat reunian tersebut saya banyak diam itulah saya ingin mengenal dan mengingat lagi sosok kalian yang dulu. Saya pilih duduk di pinggir agar bisa menyimak dan ingat, ooo... ternyata si ini namanya ini dan yang dulu itu suka begitu begini. Si itu itu dulu orangnya begitu dan suka begitu. Jadi ini sama sekali bukan karena saya bermaksud sombong dan sejenisnya. Atau juga bukan karena taku ditanyai kapan nikah, anak berapa dan sebagainya. Buat saya aneka pertanyaan tersebut cuma soal ecek-ecek. Semuanya terserah Rani, maunya kapan dan berapa, wkwkwkwk...!

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...