Bagi peserta, reuni mestinya adalah suatu yang menggembirakan. Dan sebagai seorang peserta sebuah acara reunian sekolah setelah 20 tahun berpisah, tentu saja saya ikut bergembira walau ada satu hal yang sangat saya khawatirkan. Dan itu selalu saja kejadian. Saya sering gagal mengenali teman, walau dulu pernah punya sejarah bersama.
Dalam sebuah acara reunian pasca lebaran kemaren misalnya, saya pikir saya cuma mampu mengenali 'utuh' tak lebih dari 10 orang saja. Utuh dalam maksud bahwa saya kenal nama dan ingat rupanya. Padahal ini reuni terbatas pada 2 angkatan belaka. Ini telah saya prediksi sebelumnya. Itulah kenapa berbagai siasat coba saya buat demi menghindari acaranya, walau akhirnya saya gagal dan 'terpaksa' menghadirinya. Demi Allah, itu karena saya takut gagal mengenal teman-teman lama saya. Saya takut dianggap sombong dan sejenisnya, walau ternyata sikap saya menunjukkan bahwa saya memang terkesan sombong.
Saya memang ikut berkumpul dan bergabung dalam rumpian mereka. Tapi saya lebih banyak mendengar ketimbang bicara. Selain itu saya juga pilih duduk di samping. Ini jelas bukan Raul yang 'sebenarnya'. Raul itu orang yang di perusahaan tempatnya bekerja (dulu, sekarang sudah dipecat) itu punya satu 'singgasana' saat jam istirahat yang tak seorangpun berani mendudukinya. Raul, yang selalu jadi pusat perhatian untuk didengarkan segala joke, ceramah dan aneka sabdanya. Raul, yang ketiadaannya membuat sepi dan hambar suasana, wkwkwkwk...!
Saudara-saudari, teman-teman reunian yang saya cintai! Kalian mungkin paham bahwa ketimbang dalam pergaulan dulunya pun saya lebih banyak bicara dengan 'prestasi belajar' di sekolah. Tapi percayakah kalian bahwa di sekolah lanjutan, saya adalah siswa paling vokal dan cenderung radikal (?). Saya adalah ketua geng yang paling sering bikin ribut di sekolah saya nan jauh di rantau itu. Tak terhitung lagi entah berapa kali ibu guru ini dan itu menangis karena gagal menangani kebutuhan emosional saya. Hari terakhir di sekolah tersebut (saat pembagian ijazah) sayalah tukang buat onar yang membuat guru olahraga kami tak berani datang ke sekolah (konon) selama 6 bulan berikutnya. Saya adalah tersangka utama provokator yang karena gagal ditemuinya, teman saya jadi korban pelampiasan amarah dan dendamnya. Dan konon, menurut beberapa adik kelas, tugas guru olahraga tersebut akhirnya diemban guru agama kami. 6 bulan guru olahraga tersebut tak berani nongol di sekolah karena takut aksi balas dendam, dan itu terjadi gegara saya. Siraul Nan Ebat itu aktornya keramaian, hahaha...!
Tapi bersama kalian saya lebih banyak diam dan meminggirkan diri. Mengertilah, saya sangat tak mau buat kecewa teman-teman yang selalu menyanjung dan meninggikan saya. 20 tahun berpisah setelah kenal 'cuma selama 3 tahun', itu sangat mengikis memori otak dan kenangan silam saya.
Maka saat reunian tersebut saya banyak diam itulah saya ingin mengenal dan mengingat lagi sosok kalian yang dulu. Saya pilih duduk di pinggir agar bisa menyimak dan ingat, ooo... ternyata si ini namanya ini dan yang dulu itu suka begitu begini. Si itu itu dulu orangnya begitu dan suka begitu. Jadi ini sama sekali bukan karena saya bermaksud sombong dan sejenisnya. Atau juga bukan karena taku ditanyai kapan nikah, anak berapa dan sebagainya. Buat saya aneka pertanyaan tersebut cuma soal ecek-ecek. Semuanya terserah Rani, maunya kapan dan berapa, wkwkwkwk...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar