Halaman

30 Nov 2017

Kafir

Surat Al-Kafirun jelas ditujukan pada orang yang bukan Islam. Yang tidak menyembah apa yang aku (Muhammad SAW) sembah, dan yang menyembah apa yang tidak aku (Muhammad SAW) sembah.

"Tak ada keraguan di dalamnya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa" ~ Al-Baqarah ayat 2.

Terpilihnya pemimpin dholim sebagai imam negara kita, ketidakadilan yang dialami umat Islam, maraknya penistaan agama termasuk yang dilakukan Ahok dan sebagainya itu terjadi karena kuasa Allah SWT dengan segala hikmah yang terkandung di dalamnya. Maka bila kita membaca aneka petunjukNYA, sesungguhnya makar Allah SWT itu Maha Sempurna.

Kita melihat bahwa siapa saja sesungguhnya yang benar berjuang demi umat dan siapa para pejabat penjilat dan pengkhianat. Terhadap kita diperlihatkan dengan tegas dan jelas siapa sebetulnya yang layak kita ikuti dan mana yang mesti kita lawan. Makin jelas siapa lawan dab kawan. Makin terang siapa sebetulnya orang-orang seperti yang dikatakan Allah SWT dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 7 itu,

"Allah telah mengunci hati mereka. Mata dan telinga mereka telah tertutup. Dan bagi mereka adalah azab yang sangat pedih".

Mereka adalah orang-orang yang ingkar (kafir), yang 'percuma diberi peringatan karena mereka tetap takkan beriman', seperti yang dijelaskan pada ayat sebelumnya, Al-Baqarah ayat 6.

Tak ada ayat Al-Quran yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Kemurnian dan keagungannya Allah SWT sendiri yang menjaganya. Sampai sekarang belum ada satupun yang mampu menjawab tantanganNYA untuk 'menguji keagungannya'.

Maka surat Al-Kafirun dan Surat Al-Baqarah tersebut jelas tidak saling bertentangan. Orang yang bertaqwa hanya perlu membaca petunjukNYA. Kepada siapa kata-kata 'kafaru' pada ayat 6 Al-Baqarah tersebut? Ayat berikutnya gamblang menjelaskan bahwa mereka adalah orang-orang yang hatinya telah dikunci, mata dan telinganya telah ditutup. Mereka bukan orang yang beriman, walau mengaku Islam. Abu Bakar assidiq memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat, karena dianggap murtad. Jadi jika menolak bayar zakat saja telah murtad, maka (mengaku) muslim yang mati-matian membela penista agama, pelaku penghinaan dan kriminalisasi ulama, dan pejabat yang membuat kebijakan-kebijakan yang anti Islam apakah masih layak disebut sebagai muslim?

"Allah telah mengunci hati mereka. Mata dan telinga mereka telah tertutup. Dan bagi mereka azab yang amat pedih".

*Selamat Siang!

20 Nov 2017

Inti Dakwah

Seribu atau bahkan sejuta muslimah yang melepas jilbabnya takkan sedikitpun mengurangi nilai-nilai Islam. Apalagi bila cuma itu seorang wanita tak penting bernama Rina Nose. Mari kembali pada nilai, dan berhentilah berpegang pada sosok seseorang. Salah kaprah itulah selama ini yang menimbulkan banyak kekacauan pada umat. Berpegang pada manusia itu sangat berpotensi berujung pada pengkultusan, pemujaan yang berakhir pada laku sirik. Itu dosa yang tak bakal dianulir Allah SWT.

Umar bin Khattab yang karena begitu cinta dan memujanya sampai pernah 'mengancam bunuh' semua orang yang mengatakan Nabi Muhammad SAW telah mati. Abu Bakar assiddiq lah yang menyelamatkan dan menyadarkannya dari bahaya syirik.

"Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad telah mati. Dan barang siapa yang menyembah Allah SWT, maka sesungguhnya DIA tak pernah mati".

Pelajaran dari Abu Bakar itulah pula yang menyebabkan Umar memecat panglima perang kebanggaan Islam Khalid bin Walid. Umar bin Khattab sangat mengkhawatirkan rusaknya aqidah umat sebab terlalu memuja dan menyanjung kehebatan Khalid sebagai panglima perang.

Kita umat Islam punya banyak PR yang jauh lebih penting ketimbang mempersoalkan seorang yang tak penting. Bersatunya umat Islam itu penting. Tapi meluruskan mereka yang bengkok itu jauh lebih mendesak. Percuma kuat di dunia nyata, bila di akhiratnya tak semua selamat. Inti dakwah bukanlah mengajak bersatunya umat, tapi menyampaikan kebenaran.

Selamat Pagi...!

17 Nov 2017

Maafkan Saya, Papa!

Selama ini saya menetapkan standar yang tinggi atas sesuatu yang disebut lucu. Saya tidak memfollow satu pun akun para komedian di media sosial yang saya gunakan. Saya juga tak merasa perlu-perlu amat nonton tipi yang belakangan ini banyak menampilkan para pelawak dan komedian sebagai pengisi acaranya. Menurut saya 'tak satu pun' diantara mereka yang layak disebut komedian.

Saya tak setuju ada situasi saling aniaya dianggap sebuah kelucuan. Saya tak suka ada tertawa yang mengiringi sebuah panggilan jelek seperti 'muka comberan', apalagi 'sebutan nama binatang' yang ditujukan pada seseorang terkait dengan kekurangan fisiknya. Itu bukan lelucon, tapi penghinaan.

Saya tak suka 'lawakan genit', lelucon mesum. Saya paling anti pelawak yang menggunakan materi agama bukan untuk syiar, tapi untuk melecehkannya. Dan maaf, di Indonesia saya tak (belum) menemukan seorang pun yang memenuhi standart-standart yang saya sebutkan di atas.

Para pelawak inilah yang telah merusak selera humor orang Indonesia. Seorang yang pendek, berhidung pesek atau yang perutnya bulek adalah objek lucu-lucuan di grup WA. Apa lucunya? Demi Allah, saya tak melihatnya?

Si jomblo dibully? Oke-oke saja, sebagai hiburan? Tapi jika telah sampai pada topik kapan nikah, malam Jum'at, sunnah rasul dan sebagainya? Sadar diri saja, bebas dosa ga selama pacaran? Nikahnya karena cinta atau sebab disandera zina?

"Aku udah yang ke-2, lu satu aja belum?", dan ditimpali dengan emoji-emoji penghasut tawa.

Lah, yang pertama cerai dianggap lucu? Dan dibanggakan pula? Itu namanya tak tau diri! Pernikahan gagal dianggap lucu? Kan lucu? Hahaha...!

Apa yang lucu dari kata sunnah rasul? Mengolok-olok agama? Iya banget!

Saya pribadi sering mengalami olok-olok begitu. Tak ada masalah, sebab bagi saya mudah saja menemukan kegembiraan, dibalik aneka hinaan dan atau bully yang saya terima. Saya ladeni saja sepanjang saya pikir mampu menjaga komitmen takkan pernah menyinggung perasaan orang lain. Saya berhenti, jika terlihat mulai mengarah pada menghina orang lain atau mengolok-olok ajaran agama. They're so nothing...!

Saya bangga pada fakta bahwa seanti-antinya saya dengan Jokowi-Ahok dan fanboys-nya, tak sekalipun saya pernah menyebut mereka sebagai kodok, kecebong dan sebagainya. Saya bangga saat seorang teman yang saya kenal cuma di Facebook mengatakan bahwa buku saya tak ada tandingnya. "ngakak beradab", katanya.

Saya bangga bisa tetap menjaga etika dalam berkarya. Saya bangga tetap bisa berkarya dan bergembira dengan berpegangteguh pada komitmen dan cara saya sendiri.

Dan sebebetulnya saya telah menahan diri takkan mengolok-olok seorang yang tertimpa musibah, seperti yang sedang dialami Papa sekarang ini. Saya mengerti betapa tak eloknya menertawai derita orang lain. Saya tahan diri untuk tak mentwit atau posting suatu yang lucu soal Papa yang kecelakaan tersebut. Soal kecelakaan yang dialaminya saya twit dan posting seada dan sewajarnya saja, awalnya.

Yaa, awalnya saja. Sebab makin lama saya menahan diri, malah membuat saya menderita sendirian. Hampir semua orang yang ada di TL Facebook dan Twitter saya bergembira dengan twit dan postingannya. Semua terhibur dengan musibah yang dialami papa. Bahkan akun-akun portal berita mainstream sekalipun turut memprovokasi kegembiraan para followernya dengan ikut-ikutan posting lucu-lucuan seputaran musibah papa tersebut. Akun sipil awam biasa sampai akun selebriti dan tokoh ternama. Akun pribadi sampai akun official resmi lintas kepentingan dan kompetensi. Saya merasa aneh sendiri bila tak mengikuti gembira kolosal begini. Maka maafkanlah saya, Papa! Saya tak tahan menderita sendirian, hahaha...!

Cepat sembuh, Papa...!
Diundang Pak Jokowi ke Medan, kan?

15 Nov 2017

Kalah Jargon

Sebagai bangsa besar yang kaya manusia, sumber daya alam dan pengalaman sejarahnya, adalah menyedihkan kenapa Indonesia masih saja tergolong negara berkembang, kalau ogah disebut negara terbelakang. Salah satu dugaan penyebabnya menurut saya adalah miskin dan kelirunya prinsip hidup yang dianut bangsa kita. Motivasi dan target hidup yang minimalis.

Jerman terkenal dengan slogan uber allez-nya. Bangsa yang selalu berkoar sebagai bangsa dan ras nomor satu. Amerika yang selalu berlagak sebagai negara pemimpin. Atau Jepang yang terkenal dengan prinsip kemandirian dan menghormati waktunya. Konon para wartawan peliput Piala Dunia 2002 di Jepang dulu sempat heran saat sejam jelang kick off pertandingan final, 'stadion masih lengang'. Masyarakat Jepang tak sudi membuang 60 menitnya yang berharga itu hanya untuk sekedar menunggu pertandingan dimulai.

"Waktu adalah uang", prinsip Jepang yang telah sangat kita akrabi selama ini.

Sebaliknya dengan prinsip minimalis ala bangsa kita. Ketika Yamaha mengkampanyekan 'Semakin Di Depan' dan 'Selalu Terdepan'-nya, kita masih saja ngotot dengan 'Biar Lambat Asal Selamat'. Biarlah telat, daripada tidak sama sekali. Cinta tak harus memiliki? Beh, justru demi masa lalu yang indah dan demi mimpi tentang akhir yang bahagia itulah kenapa cinta harus saling memiliki. Pejuang cinta, tapi segitu aja menyerah? Indak kayu, janjang dikapiang.

Baranak ampeeeek...eeek..., Den nanti juo wowowo, den nanti juo.

Pokoknya RANI Harga Mati, Merdekaaaaa...! Hahaha...!

Belakangan malah ada malah yang jargon target yang sangat minimalis. Asal bukan Jokowi atau yang penting bukan Ahok. Padahal ini tak lagi sekedar urusan pribadi seperti soal asmara tadi. Ini soal siapa yang akan menjadi pemimpin yang akan mengurus kehidupan suatu bangsa? Masak targetnya minimalis begitu? Yang penting bukan Ahok? Asal bukan Jokowi? Duhh...!

Motivasi minimalis begitu juga akan diikuti oleh usaha yang minimalis yang berujung pada hasil yang minimalis pula. Padahal jika kita merujuk pada mahirnya urang awak dalam berpetatah-petitih, sangat banyak pelajaran yang bisa kita petik. Orang Minang bahkan terhimpit pun maunya di atas, terkurung pun maunya di luar.

"Cuma di Sumatera Barat satu-satunya daerah yang tak pernah di temui ada rumah yang benar-benar mewah dan rumah benar-benar reyot" ~ Indra J Piliang.

Lamak di awak, katuju di urang. Itu adalah semangat untuk menjadi sempurna?

Ohya, sebetulnya hanya hendak mengingatkan bahwa kita khususnya umat Islam di Indonesia jangan sampai lengah dengan euphoria persatuan Islam. Sebab jargon-jargon persatuan umat yang dimunculkan selama ini potensial membuat kita lalai dan melupakan bahwa menyatukan umat yang berserak itu memang penting, tapi meluruskan mereka yang tersesat jauh lebih mendesak.

"...seluruhnya masuk neraka, kecuali yang mengikutiku dan sahabatku" ~ Nabi Muhammad SAW.

Percuma bersatu di dunia, bila di akhiratnya tetap saja terpisah.

13 Nov 2017

Paras Hukum Kita

Ditetapkannya kembali Setya Novanto sebagai tersangka oleh KPK adalah bukti bahwa aparat hukum BOLEH SEENAKNYA saja melanggar hukum dan tak perlu taat hukum. Tak pernah ada sanksi yang diterima KPK atas kesalahannya yang terbukti di pra peradilan yang diajukan Novanto.

Berapa banyak terjadi kasus salah tembak, salah tangkap, salah hukum bahkan rekayasa dan ciptakan kasus, aparat pelakunya masih saja dibayar dan digaji oleh negara. Tak pernah ada istilah kriminal bagi aparat pelanggar hukum. Aparat hujum yang melanggar hukum disebutnya menyalahi kode etik atau pelanggaran prosedur. Hukumannya pun jika ada hanya sebatas mutasi, doank! Sampai saat ini gerombolan aparat preman yang menembak mati orang yang baru pulang dari mesjid hanya karena diduga teroris masih rutin menerima gaji tiap bulannya dari negara. Apa sanksi yang mereka terima? Dana kompensasi bagi korban pun juga pakai anggaran dari APBN.

Benar atau salahnya Setya Novanto itu soal lain. Saya setuju jika di pengadilan terbukti dia korupsi, hukum saja seberat-beratnya. Hukuman potong rambut atau cukur bulu ketiaknya misalnya, siapa tahu dengan itu kesaktiannya bisa hilang. Tapi yang lebih pentingnya adalah, aparat hukumnya sendiri harus lebih dulu bersih hukum. Sebab, kelakuan KPK ini bukan yang pertama kali.

KPK dinyatakan bersalah di praperadilan yang diajukan Novanto. Sebelumnya, KPK juga pernah terbukti bersalah saat mentersangkakan Budi Gunawan. KPK selaku aparat hukum telah berbuat seenaknya tanpa pernah diberi sanksi sama sekali. Akibatnya kelakuan tersebut selalu saja mereka lakukan lagi dan berulang.

Novanto atau BG bisa saja memang salah. Tapi yang pasti mereka telah didholimi. BG batal jadi Kapolri, sedang Novanto sendiri jadi cengeng dan sakit-sakitan. Kan itu buat malu bangsa? Ketua Wakil rakyat kok penyakitan? Hahaha...!

*Ngigau siang

3 Nov 2017

Den dan Papa

Den :Pejabat publik kok cengeng?

Papa :Maksud kau apa, heh?

Den :Meme aja diributin!

Papa :Mereka semua, pembuat, pengunggah dan penyebarnya itu tak punya hati. Tak punya empati. Orang sakit kok digituin?

Den :Udah cengeng, penyakitan pula!

Papa :Diam kau!

Den :Tadi tiap ditanya hakim kok jawabnya lupa melulu?

Papa :Lupa ya karena ga ingat. Bengak kali kau ini!

Den :Tapi beneran, Papa tak pernah terima aliran duit E-KTP?

Papa :Ga (ketus)

Den :Ga pernah atau ga ingat?

Papa :Ga pernah, paham kaaaaau...?

Den :Yakin ga pernah? Coba diingat-ingat lagi, deh!

Papa :Apa lagi yang mesti kuingat? Kan sudah kubilang aku tak pernah terima aliran dari proyek sialan tersebut.

Den :Tapi Papa kan pelupa?

Papa :Trus apa salahnya orang lupa? Tuhan aja maklumi orang yang lupa, kok!

Den :Tapi yang bapak hadapi tadi itu kan hakim, bukan Tuhan?

Papa : (hening)

Den :Yang begini kok dipercaya jadi wakil rakyat sih? Sebagai Ketua pula! Udah cengeng, penyakitan, pelupa pula? Bisa bangkrut nih, negara kita!

Papa : (hening dan melotot)

*Tamat

4 Hal Penting Dalam Menulis

Saya beberapa kali dipercaya menjadi juri event menulis. Untuk naskah normal terbaik, nilai maksimal yang saya berikan adalah 8. Tapi bukan ...