Bagaimanapun, saya sungguh resah begitu melihat banyaknya muslim yang PeDe mencela agama bahkan Tuhannya sendiri. Sungguh, saya takjub sekali terhadap nyali orang ini. Konon dalam suatu hikayat (entah benar atau tidak Allahu 'alam) bahkan Iblis, Maharaja Setan saja enggan berteman dengan orang ini. Alasan sang Iblis, dia mengaku memang ogah sujud pada Nabi Adam as, tapi dia tetap takut pada murka Allah SWT. Jadi jika ada manusia berani mencela Tuhannya sendiri, wajar pula Iblis gentar berdampingan dengannya.
Balik ke awal, keresahan saya makin memuncak dipicu oleh penistaan agama oleh Ahok. Bukan membela agama yang dianutnya, banyak malah yang membela sang penistanya. Beragama, tapi membela penista agamanya? Ini pemeluk agama yang aneh.
Kenapa ceramah gagal memantik ghirah? Kenapa banyak khotbah yang buat ngantuk jamaah? Satu-satunya yang saya bisa simpulkan adalah karena penceramah/khatib lemah narasi. Ceramah atau khotbahnya lebih terkesan memberi informasi, bukan mengajak ber-Islam dengan sebenarnya. Jumat barusan misalnya. Nyaris separuh isinya adalah ayat Al-Quran atau Hadist. Separoh lainnya? Terjemahannya. Pengganti nyaris adalah kalimat 'hadirin sidang Jumat yang dimuliakan Allah SWT' dan sejenisnya.
Ceramah agama jika sekedar membagi informasi seperti itu, di timeline Facebook saya juga banyak. Mulai dari postingan ABG pasca alay, sampai file suara ulama yang sudah meninggal juga ada. Maaf, bukan tak menghargai, tapi umat Islam di Indonesia tak sekedar butuh informasi ajaran agama. Lebih mendesak yang kita butuh adalag spirit menegakkan agama. Ini sangat berbeda dengan umat Islam di negara lain. Ghirah mereka kuat karena walau sebagai minoritas, narasi Islam yang mereka terima juga sangat kuat.
Saya tak meragukan kualiatas keilmuwan para ulama kita, termasuk para penceramah dan khatib-khatib dan guru-guru ngaji kita semua. Persoalannya adalah, berapa banyak ajaran dan ceramah mereka yang membekas awet dalam diri kita? Dan kalau ada, kenapa bisa awet? Ini jelas bukan karena soal tinggi rendahnya pengetahuan beragama mereka. Ini pasti menyangkut persoalan teknis cara berdakwah dan ceramahnya.
Persoalan ini hendaknya mesti jadi perhatian serius MUI, Kemenag atau atau pihak terkait lainnya. Persatuan atau ikatan Muballigh mesti bisa lebih serius membina kader-kader calon muballighnya. Jangan sampai ada lagi khatib Jumat yang berceramah dengan membaca buku Kumpulan Khutbah Jumat seharga 50-70an ribu rupiah. Khutbah Jumat adalah rangkaian utuh dari kewajiban ibadah sholat Jumat. Jangan direndahkan begitu! Khatib Jumat mestinya berkhutbah, bukan membaca buku kumpulan khutbah. Imam adalah yang paling fasih bacaan shalatnya. Mestinya khatib juga yang paling kuat narasi ceramahnya. Menyedihkan bila ulama ceramah tak didengar, ditinggal tidur, sementara tulisan sesat kaum liberal yang karena kaya narasi seperti Ade Armando, Ulil, atau Sahal dijadikan rujukan.
Ampuni kami yaa, Allah...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar