Witan :Siap, Opung!
Naga Bonar :Berapa umurmu sekarang?
Witan : 20 hari yang lalu saya masih 16 tahun, Opung! Sekarang berarti...
Naga Bonar :Ahhh... Kau ini sama saja seperti si Bonaga anakku atau si Monita calon menantuku itu. Bicara berputar-putar macam mencari ketiak ular saja. Tapi cocok!
Witan :Cocok apanya, Opung?
Naga Bonar :Kau kenal Sentot Alibasya?
Witan :Kenal betul tidak, Opung! Tapi saya tahu dia pahlawan kita.
Naga Bonar :Kau benar, Witan! Tak banyak orang yang mengenalnya. Dia pahlawan kita, walau negara belum pernah mengakuinya.
Witan :Kenapa bisa begitu, Opung?
Naga Bonar :Aku tak tahu, Witan! Mungkin karena dia terlalu sibuk berjuang demi negara, sampai lupa berjuang demi dirinya sendiri.
Witan :Maksudnya, Opung?
Naga Bonar :Dia sudah pergi ke medan perang waktu seumuran kau ini, Witan. Itulah kenapa tadi kubilang cocok. Belanda terlalu takut padanya. Banyak komandan mereka yang stress sampai bunuh diri karena siasat perangnya. Dia akhirnya dicurangi, ditangkap dan dibuang kesana kemari sampai akhirnya meninggal jauh dari kampungnya. Besar kemungkinan waktu itu dia masih jomblo. Maka tak ada keturunan yang bisa memperjuangkan gelar pahlawan untuknya.
Witan :Memangnya gelar pahlawan itu harus diperjuangkan ya, Opung?
Naga Bonar :Bukan begitu maksudku, Witan! Di luar negeri siasat perang terornya tersebut dipelajari dengan detil. Bahkan sampai dibukukan segala. Musuh menghormatinya, memberinya julukan hebat, Napoleon Jawa. Lalu kenapa kita bangsanya sendiri seolah tak mau tahu?
Witan :Begitu ya, Opung?
Naga Bonar :Kau tahu kenapa hari ini kita peringati sebagai Hari Sumpah Pemuda, Witan?
Witan :Karena 90 tahun yang lalu para pemuda dari berbagai daerah telah bersumpah, Opung!
Naga Bonar :Kau benar. Tapi perlu kau tahu pula. Hampir seabad sebelum itu Sentot Alibasya juga telah melakukan dan membuktikannya langsung.
Witan :Ohya?
Naga Bonar :Setelah menangkapnya di ujung Perang Diponegoro, Belanda mengirimnya ke Padang untuk menumpas kaum Paderi. Kau tahu, dia malah bekerjasama dengan nenek moyang si bengak Bujang itu melawan Belanda. Padahal waktu itu sedang panas-panasnya sentimen anti Jawa di Sumatera. Nah, Sentot memberangus sentimen itu dengan sama-sama berjuang mengusir Belanda. Jadi dia itu sungguh layak jadi Pahlawan Nasional, Witan!
Witan :Iya! Saya mengerti, Opung!
Naga Bonar :Melihatmu saat ini Witan, aku seperti merasakan langsung kehadiran beliau di hadapanku. Kau pakai semangat mudanya itu, Witan! Jangan kau tiru pula Siraul Nan Ebat itu!
Witan :Siraul Nan Ebat itu siapa lagi, Opung?
Naga Bonar :Ahh, orang tak penting. Satu kampung juga sama si Bujang. Dan bengaknya sama pula. Waktu seumuranmu, menjadi Ketua Kelas saja dia dipecat.
Witan : (bingung)
Naga Bonar :Sudahlah! Dia itu sangat tak penting. Yang penting sekarang kau lanjutkan cita-cita dan perjuanganku dulu.
Witan :Apa itu, Opung?
Naga Bonar :Dulu Jepang menjajah negara kita. Dan yang berhasil kulakukan cuma mencopet arloji komandannya yang waktu itu sedang mabuk. Setelah kita merdeka anakku si Bonaga malah mengajaknya bekerjasama mengelola kebun kelapa sawitku. Aku tak suka. Tapi lagi-lagi yang bisa kulakukan cuma mencopet arlojinya. Dan sekarang Jepang datang lagi ke Indonesia. Kali ini giliranmu. Tugas ini sekarang kuserahkan padamu.
Witan :Opung menyuruhku mencopet arloji Jepang?
Naga Bonar :Usir Jepang itu dari Indonesia, Witaaaan...! Bahhhh!
Witan :Maksud Opung?
Naga Bonar :Kalahkan Jepang! Buktikan bahwa Indonesia lah sesungguhnya komandan Asia. Indonesia lah pemimpin Asia. Indonesia lah juara dan macan Asia. Kalau nanti kau cetak gol lagi, cari aku di lapangan tempat kita biasa main dulu. Ada hadiah untukmu.
Witan :Hadiah apa, Opung! Jersey Christiano Ronaldo macam yang Opung kasih buat Tulus waktu itu?
Naga Bonar :Bukan! Hadiah spesial karena kau mampu usir Jepang dari Indonesia. Arloji Jepang teman kerja anakku si Bonaga yang kucopet waktu itu ingin kuwariskan untukmu.
Witan: (melongo)
***