Halaman

22 Jan 2019

ILC : Siapa Menang Debat Capres

Begini, Bang Karni!

Seperti yang saya katakan di ILC 2 minggu lalu, negara diberi amanat oleh UUD45 salah satunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka wajib hukumnya bagi penyelenggara negara untuk taat dan menunaikannya. Tidak saja karena mereka diberi amanat, tapi juga karena untuk tugas itu mereka telah dibayar oleh rakyat. Dan melihat debat kemaren, sebagai rakyat kita layak cemas, malu bahkan merasa jijik.

Kita layak cemas melihat bagaimana penyelenggaranya mengurus negara. Dan akan makin cemas bila melihat kualitas calon pengurus berikutnya.

Saya sendiri heran kenapa KPU tidak bersedia transparan, membuka hasil test kesehatan para kandidat. Rakyat berhak tahu bukan saja soal wawasan, tapi juga soal kesiapan dan kemampuan calon pemimpinnya.

Sebelum debat saya melihat beredarnya poto seorang kandidat sholat Maghrib berjamaah, namun beliau menggunakan kursi. Pesan logisnya, diantara seluruh jemaah, secara fisik beliau adalah yang paling lemah. Saya membayangkan bagaimana nanti beliau bicara, berpidato dalam forum internasional yang durasinya sudah pasti jauh lebih panjang.

Kecemasan berikutnya terhadap kemampuan para kandidat memahami konteks. Pertanyaan soal kebangsaan, tapi jawabannya bicara persoalan satu partai. Jika 5 tahun lalu seluruh persoalan negara dijanjikan beres dengan kartu, maka kali ini akan dibereskan dengan Tol. Apapun soalnya, jawabnya TOL ... LOL

Calon lainnya tak kalah buruk. Bahkan saya menyangsikan apakah yang bersangkutan tahu atau tidak apa itu debat. Ogah berbicara karena tak tega? Hey, debat itu adu kepala, bukan adu perasaan, Jendraaaaal, arrrrrrgh!

Ini mencemaskan. Jangan sampai bila terpilih kelak, penjahat dan para koruptor mendatanginya membawa bekal butuh dikasihani. Apa jadinya hukum dan independensi presiden bila para penjual dan pengkhianat negara menghadapnya menawarkan rasa iba?

Padahal melalui debat inilah sebetulnya kita ingin meraba isi kepala para kandidat. Rakyat butuh melihat ide dan solusi mereka menangani persoalan bangsa. Kita pernah jadi bangsa besar, dihormati dan disegani. Gerakan Non-Blok Blok, Konferensi Asia-Afrika, ASEAN dan lainnya lahir dari ide dan pikiran besar para pemimpin pendahulu kita. Kita ingin tahu bagaimana cara calon penerusnya mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai pemimpin dunia.

Dunia luar sibuk dengan riset perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Bagaimana pemimpin mereka bersikap dan bersiap menghadapi tantangan global. Dan alangkah menjijikkannya ketika kita di Indonesia masih saja diberi suguhan seorang calon pemimpin potong rambut, atau memanjat pagar yang ada tangganya. Perdebatan ilmiah seperti apa yang akan dihasilkan bila pelajaran yang diberikan calon pemimpin adalah tentang nama-nama ikan?

Bangsa ini takkan pernah cerdas bila dalam memilih pemimpin pedomannya adalah siapa yang didukung Iwan Fals, Slank, Rhoma Irama atau Andhika Kangen Band. Tak penting siapa yang didukung TGB, UAS, Yusuf Mansyur atau Habieb Rizieq. Pendidikan politik mestinya mengajarkan rakyat agar memilih berdasar program kerja, bukan karena siapa mendukung siapa.

Pilpres dengan segenap rangkaiannya adalah hajatan besar bangsa. Hajatan besar sebuah negara besar lagi penting yang tentu saja akan menjadi perhatian dunia. Lalu perhelatan seperti apa yang kita dan dunia lihat dalam sesi debat kemaren?

Sangat memalukan! Bagaimana mungkin kompetisi adu pikiran calon pemimpin soalnya diberikan dulu? Sudah begitu boleh mencontek pula. Sudah boleh mencontek ketahuan pula. Sudah mencontek dan ketahuan, disiarin dan dipamerkan pula ke seluruh dunia.

Maka bila kepada saya ditanya siapa yang menang debat Capres, saya tidak tahu. Tapi bila pertanyaannya adalah siapa yang dipermalukan dalam debat Capres? Jawabnya jelas: Indonesia.

Walau begitu, sebagai rakyat kita mesti tetap berupaya memperbaiki nasib bangsa. Setidaknya dengan akal sehat dan kewarasan yang kita punya, jangan sampai yang bodoh berkuasa karena dipilih oleh orang-orang gila.

Dah, segitu aja, Bang Karni!

"Seperti e'ek kucingku, meresahkan dan melulu termaafkan," kata Siraul Nan Ebat dalam bukunya Rekreasi Hati.

Kita rehat sejenak!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Seri Komplotan

Seri Komplotan mungkin serial karya Enid Blyton yang paling tidak populer di Indonesia. Meski cuma terdiri dari 6 judul, tapi inilah karya s...